Pi (Freddie Prince Jr.) tinggal di daerah perairan yang kotor dan tercemar bersama kedua orang tuanya. Suatu hari bencana datang, orang tua Pi tertangkap jaring yang ditebar para nelayan.
Untung ada kawanan lumba-lumba yang berbaik hati mengantar Pi ke tempat Aunt Pearl (Fran Drescher) ke sebuah tempat yang indah, penuh dengan batu-batu coral yang cantik. Perjalanan ternyata cukup jauh, soalnya, Pi memulai perjalanan ketika ia masih seekor ikan kecil, sampai akhirnya ia jadi ikan ‘remaja’.
Sesampainya di sana, Pi langsung jatuh cinta pada seekor ikan cantik berwarna pink yang bernama Cordelia (Evan Rachel Wood). Cordelia bagaikan kembang di tengah-tengah para ikan. Tapi, sayang, saingan Pi sangat berat, yaitu seekor ikan hiu yang sombong, Troy (Donal Logue). Troy gemar mengintimidasi ikan-ikan yang lebih kecil dari dirinya, termasuk Pi.
Jiwa ‘kelaki-lakian’nya Pi langsung muncul begitu melihat Cordelia diganggu Troy, berusaha melindungi Cordelia. Tapi, ternyata Troy bukan tandingan bagi Pi. Dengan mudah, Pi dikalahkan Troy yang dibantu dua kaki tangannya.
Di bawah laut itu, ada sebuah daerah yang sangat dilarang untuk dikunjungi, yaitu sebuah bangkai kapal bajak laut yang konon kabarnya berhantu dan dijaga oleh kura-kura aneh dan penyendiri bernama Nerissa (Rob Schneider). Tidak ada ikan yang berani mendekati kapal itu. Tapi, Pi, bukanlah ikan yang penakut. Bersama Dylan (Andy Dick), sepupunya . Pi menjelajah kapal itu dan bertemu dengan Nerissa.
Ada kepercayaan di kalangan para ikan, jika ikan betina menerima sebuah mutiara yang indah dari ikan jantan, itu artinya mereka sudah menyerahkan diri mereka dan menerima si ikan jantan. Cordelia, mengorbankan dirinya untuk menerima mutiara dari Troy, dengan syarat Troy tidak boleh lagi menyakiti Pi dan juga kawanan ikan lain di perairan itu.
Mutiara paling indah dimiliki oleh Nerissa. Dulu mutiara itu diberikan Nerissa kepada istrinya. Tidak mudah untuk merebut mutiara itu, karena Nerissa juga bukan sembarang kura-kura. Pi yang tentunya gak rela kalo Cordelia jadi milik Troy, membujuk Nerissa untuk mengajarkannya tehnik-tehnik mengalahkan Troy.
Film yang juga berjudul ‘Shark Bait’ ini, mengingatkan gue sama film Shark Tale. Katanya sih, juga pengen mengulang sukses film-film ‘bawah laut’ kaya’ Finding Nemo. Tapi, sayang, film ini gak istimewa. Gambar-gambar batu karang yang berwarna-warni tampak gak terlalu cerah. Menurut Uncle Wikie, film ini gak sukses. Entah karena gak didukung sama pemain-pemain yang top, atau karena gambar yang biasa aja, yang bahkan katanya, logonya pun emang meniru Shark Tale.
Satu-satunya tokoh yang 'mencuri' perhatian gue adalah Aunt Pearl yang genit tapi wise itu. Yang lain, biasa aja lah...
Untung ada kawanan lumba-lumba yang berbaik hati mengantar Pi ke tempat Aunt Pearl (Fran Drescher) ke sebuah tempat yang indah, penuh dengan batu-batu coral yang cantik. Perjalanan ternyata cukup jauh, soalnya, Pi memulai perjalanan ketika ia masih seekor ikan kecil, sampai akhirnya ia jadi ikan ‘remaja’.
Sesampainya di sana, Pi langsung jatuh cinta pada seekor ikan cantik berwarna pink yang bernama Cordelia (Evan Rachel Wood). Cordelia bagaikan kembang di tengah-tengah para ikan. Tapi, sayang, saingan Pi sangat berat, yaitu seekor ikan hiu yang sombong, Troy (Donal Logue). Troy gemar mengintimidasi ikan-ikan yang lebih kecil dari dirinya, termasuk Pi.
Jiwa ‘kelaki-lakian’nya Pi langsung muncul begitu melihat Cordelia diganggu Troy, berusaha melindungi Cordelia. Tapi, ternyata Troy bukan tandingan bagi Pi. Dengan mudah, Pi dikalahkan Troy yang dibantu dua kaki tangannya.
Di bawah laut itu, ada sebuah daerah yang sangat dilarang untuk dikunjungi, yaitu sebuah bangkai kapal bajak laut yang konon kabarnya berhantu dan dijaga oleh kura-kura aneh dan penyendiri bernama Nerissa (Rob Schneider). Tidak ada ikan yang berani mendekati kapal itu. Tapi, Pi, bukanlah ikan yang penakut. Bersama Dylan (Andy Dick), sepupunya . Pi menjelajah kapal itu dan bertemu dengan Nerissa.
Ada kepercayaan di kalangan para ikan, jika ikan betina menerima sebuah mutiara yang indah dari ikan jantan, itu artinya mereka sudah menyerahkan diri mereka dan menerima si ikan jantan. Cordelia, mengorbankan dirinya untuk menerima mutiara dari Troy, dengan syarat Troy tidak boleh lagi menyakiti Pi dan juga kawanan ikan lain di perairan itu.
Mutiara paling indah dimiliki oleh Nerissa. Dulu mutiara itu diberikan Nerissa kepada istrinya. Tidak mudah untuk merebut mutiara itu, karena Nerissa juga bukan sembarang kura-kura. Pi yang tentunya gak rela kalo Cordelia jadi milik Troy, membujuk Nerissa untuk mengajarkannya tehnik-tehnik mengalahkan Troy.
Film yang juga berjudul ‘Shark Bait’ ini, mengingatkan gue sama film Shark Tale. Katanya sih, juga pengen mengulang sukses film-film ‘bawah laut’ kaya’ Finding Nemo. Tapi, sayang, film ini gak istimewa. Gambar-gambar batu karang yang berwarna-warni tampak gak terlalu cerah. Menurut Uncle Wikie, film ini gak sukses. Entah karena gak didukung sama pemain-pemain yang top, atau karena gambar yang biasa aja, yang bahkan katanya, logonya pun emang meniru Shark Tale.
Satu-satunya tokoh yang 'mencuri' perhatian gue adalah Aunt Pearl yang genit tapi wise itu. Yang lain, biasa aja lah...
Labels: The Reef
Film diawali dengan adegan Jojo (Tora Sudiro) yang bergelantungan di komidi putar. Penonton diajak ber-flash back untuk bisa tau kenapa si Jojo bisa ada di atas komidi putar itu.
Jojo adalah gambaran pemuda yang selalu gagal dalam berbagai pekerjaan. Diawali sebagai tukang pel di sebuah supermarket, lalu, sebagai tukang tattoo dan terakhir sebagai tukang tambal ban. Dia beranggapan semua kesuksesan itu harus dimulai dari nol, rasa percaya diri yang tinggi membuat Jojo bisa bertahan dengan kegagalan yang terus mengikutinya.
Sampai akhirnya, seorang om-om yang kemayu bernama Mudakhir (Tino Saroengallo), yang disebut sebagai ‘Pemburu’ datang ke Jojo menawarkan sebuah pekerjaan yang akan membuat kegagalan Jojo berakhir dan bisa mendapatkan uang banyak. Jojo sempat tidak tertarik, bahkan curiga dengan si Om, tapi, bujuk rayu si Om dan keinginan untuk berubah membuat Jojo pun ikut ke tempat Om Mudakhir.
Jojo dibawa ke sebuah restoran pizza bernama Quickie Express. Tapi anehnya, si pelayan yang sebagian besar cowok memakai seragam celana super pendek dan ketat, dan pengunjungnya adalah perempuan-perempuan yang genit. Jojo semakin heran ketika dibawa ke ruang bawah tanah, yang katanya Om Mudakhir adalah bekas bunker. Di sana Jojo melihat semakin banyak cowok-cowok bercelana ketat yang mondar-mandir.
Akhirnya, Om Mudakhir pun bilang kalo tempat itu adalah Gigolo Training Centre. Karuan aja Jojo menolak mentah-mentah ajakan Om Mudakhir. Tapi, setelah diuji lewat test, akhirnya memang profesi yang cocok buat Jojo adalah sebagai Gigolo.
Mulailah hari-hari Jojo di-training untuk menjadi ‘gigolo’ yang baik dan benar. Teman-teman ‘satu angkatannya’ adalah Marley (Amink), seorang ‘pemuja’ Bob Marley dan Piktor (Lukman Sardi), cowok yang gagal jadi penyiar. Mereka bertiga diajar cara menari, table manner sampai menguji keakuratan G-Spot! Setelah lulus, barulah mereka ‘diterjunkan’ ke dunia gigolo sebenarnya.
Akhirrnya mereka pun jadi Gigolo yang ‘sukses’. Mereka bertiga diberi rumah yang besar oleh Om Mudakhir dan level mereka pun naik sebagai ‘male escort’ bagi ibu-ibu kalangan pejabat dan beredar di klub-klub eksekutif. Mereka gak perlu lagi pakai seragam celana ketat itu, malah mereka diberi baju baru.
Di sinilah, porsi Tora Sudiro mulai mendominasi jalan cerita. Karena, ketika mulai menjadi male escort buat ibu-ibu pejabat, Marley dan Piktor jarang muncul. Jojo ‘di-booking’ oleh seorang tante bernama Mona (Ira Maya Sopha), yang sesudah ‘kencan’ pertama langsung meminta Jojo ‘ekslusif’ hanya melayani dia.
Tak disangka-sangka, inilah awal keribetan semua masalah Jojo. Jojo juga lagi jatuh cinta dengan seorang calon dokter yang berwajah lembut dan alim (tapi doyan dugem), bernama Lila (Sandra Dewi), yang ternyata anak seorang pengusaha yang dicurigai sering melakukan praktek-praktek kotor bernama Jan Pietersen (Rudy Wowor).
Gara-gara ini, Jojo harus membuat pilihan apa ia harus berterus terang sama Lila tentang profesi sebenarnya, atau terus menjalani ‘hubungan ganda’ dengan Tante Mona? Belum lagi, Jojo harus berurusan dengan tangan kanan Jan, pria Ambon bertampang sangar bernama Mateo (Tio Pakusadewo).
Koq gue rada gak sreg ya, dengan si Tora Sudiro, rasanya udah ketuaan banget untuk jadi cowok berusia 27 tahun? Tapi, secara keseluruhan, film-nya ok, kocak. Amink masih tetap dengan logat sunda-nya, lalu Tora dengan gaya sok cool-nya, terus Lukma Sardi yang tampil rada gemuk di film ini. Gue gak nyangka kalo si Mateo itu adalah Tio Pakusadewo… gak keliatan sih… Tapi, gue suka banget waktu Jan Pietersen dateng ke rumah Jojo.. dan waktu Mateo marah-marah ke Jan Pietersen… Hahaha.. sebuah bagian cerita yang gak disangka-sangka. Tapi, gue bisa menebak, apa hubungan Tante Mona dengan Lila. Sandra Dewi juga ok (koq mirip Dian Sastro ya?). Dan satu lagi yang ‘heboh’ adalah Ira Maya Sopha yang jadi tante-tante cool tapi genit.
Ada cameo-cameo bertebaran di film ini, misalnya Ria Irawan, Imelda Therine, Nia DiNata sendiri dan di akhir film ada Ruben.
Film ini bener-bener film komedi untuk orang dewasa, yang dari awal sampai akhir berhasil bikin satu bioskop yang full itu ketawa.
Jojo adalah gambaran pemuda yang selalu gagal dalam berbagai pekerjaan. Diawali sebagai tukang pel di sebuah supermarket, lalu, sebagai tukang tattoo dan terakhir sebagai tukang tambal ban. Dia beranggapan semua kesuksesan itu harus dimulai dari nol, rasa percaya diri yang tinggi membuat Jojo bisa bertahan dengan kegagalan yang terus mengikutinya.
Sampai akhirnya, seorang om-om yang kemayu bernama Mudakhir (Tino Saroengallo), yang disebut sebagai ‘Pemburu’ datang ke Jojo menawarkan sebuah pekerjaan yang akan membuat kegagalan Jojo berakhir dan bisa mendapatkan uang banyak. Jojo sempat tidak tertarik, bahkan curiga dengan si Om, tapi, bujuk rayu si Om dan keinginan untuk berubah membuat Jojo pun ikut ke tempat Om Mudakhir.
Jojo dibawa ke sebuah restoran pizza bernama Quickie Express. Tapi anehnya, si pelayan yang sebagian besar cowok memakai seragam celana super pendek dan ketat, dan pengunjungnya adalah perempuan-perempuan yang genit. Jojo semakin heran ketika dibawa ke ruang bawah tanah, yang katanya Om Mudakhir adalah bekas bunker. Di sana Jojo melihat semakin banyak cowok-cowok bercelana ketat yang mondar-mandir.
Akhirnya, Om Mudakhir pun bilang kalo tempat itu adalah Gigolo Training Centre. Karuan aja Jojo menolak mentah-mentah ajakan Om Mudakhir. Tapi, setelah diuji lewat test, akhirnya memang profesi yang cocok buat Jojo adalah sebagai Gigolo.
Mulailah hari-hari Jojo di-training untuk menjadi ‘gigolo’ yang baik dan benar. Teman-teman ‘satu angkatannya’ adalah Marley (Amink), seorang ‘pemuja’ Bob Marley dan Piktor (Lukman Sardi), cowok yang gagal jadi penyiar. Mereka bertiga diajar cara menari, table manner sampai menguji keakuratan G-Spot! Setelah lulus, barulah mereka ‘diterjunkan’ ke dunia gigolo sebenarnya.
Akhirrnya mereka pun jadi Gigolo yang ‘sukses’. Mereka bertiga diberi rumah yang besar oleh Om Mudakhir dan level mereka pun naik sebagai ‘male escort’ bagi ibu-ibu kalangan pejabat dan beredar di klub-klub eksekutif. Mereka gak perlu lagi pakai seragam celana ketat itu, malah mereka diberi baju baru.
Di sinilah, porsi Tora Sudiro mulai mendominasi jalan cerita. Karena, ketika mulai menjadi male escort buat ibu-ibu pejabat, Marley dan Piktor jarang muncul. Jojo ‘di-booking’ oleh seorang tante bernama Mona (Ira Maya Sopha), yang sesudah ‘kencan’ pertama langsung meminta Jojo ‘ekslusif’ hanya melayani dia.
Tak disangka-sangka, inilah awal keribetan semua masalah Jojo. Jojo juga lagi jatuh cinta dengan seorang calon dokter yang berwajah lembut dan alim (tapi doyan dugem), bernama Lila (Sandra Dewi), yang ternyata anak seorang pengusaha yang dicurigai sering melakukan praktek-praktek kotor bernama Jan Pietersen (Rudy Wowor).
Gara-gara ini, Jojo harus membuat pilihan apa ia harus berterus terang sama Lila tentang profesi sebenarnya, atau terus menjalani ‘hubungan ganda’ dengan Tante Mona? Belum lagi, Jojo harus berurusan dengan tangan kanan Jan, pria Ambon bertampang sangar bernama Mateo (Tio Pakusadewo).
Koq gue rada gak sreg ya, dengan si Tora Sudiro, rasanya udah ketuaan banget untuk jadi cowok berusia 27 tahun? Tapi, secara keseluruhan, film-nya ok, kocak. Amink masih tetap dengan logat sunda-nya, lalu Tora dengan gaya sok cool-nya, terus Lukma Sardi yang tampil rada gemuk di film ini. Gue gak nyangka kalo si Mateo itu adalah Tio Pakusadewo… gak keliatan sih… Tapi, gue suka banget waktu Jan Pietersen dateng ke rumah Jojo.. dan waktu Mateo marah-marah ke Jan Pietersen… Hahaha.. sebuah bagian cerita yang gak disangka-sangka. Tapi, gue bisa menebak, apa hubungan Tante Mona dengan Lila. Sandra Dewi juga ok (koq mirip Dian Sastro ya?). Dan satu lagi yang ‘heboh’ adalah Ira Maya Sopha yang jadi tante-tante cool tapi genit.
Ada cameo-cameo bertebaran di film ini, misalnya Ria Irawan, Imelda Therine, Nia DiNata sendiri dan di akhir film ada Ruben.
Film ini bener-bener film komedi untuk orang dewasa, yang dari awal sampai akhir berhasil bikin satu bioskop yang full itu ketawa.
Labels: comedy, Indonesia, Quickie Express
Di sebuah daerah di Inggris, ada desa yang bernama ‘Wall’. Desa ini dikelilingi oleh tembok yang membatasi Desa Wall dengan desa lain yang penuh dengan kekuatan magis. Tembok itu dijaga ketat oleh seorang penjaga yang sudah tua. Tapi, suatu hari, Dunstan Thorn (Ben Barnes), penasaran akan apa yang ada di desa seberang, ia pun mencoba mengelabui si penjaga tua dan berhasil menyeberang tembok pembatas.
Di desa itu, Dunstan terpikat pada seorang gadis cantik yang dijadikan budak oleh salah satu pedagang. Katanya, ia adalah putri raja yang dikutuk jadi budak. Sembilan bulan setelah pertemuan singkat itu, Dunstan menerima kiriman sebuah keranjang yang berisi bayi yang sudah diberi nama ‘Tristan’.
Tristan (Charlie Cox) tumbuh jadi pemuda tampan, tapi agak pemalu, bekerja di sebuah toko kelontong, hanya tinggal berdua dengan ayahnya . Ia menyukai seorang gadis bernama Victoria (Sienna Miller). Tapi, sayang, saingan Tristan adalah seorang pemuda kaya raya, Humphrey (Henry Cavill), yang kerap mengejek dan merendahkan Tristan.
Nun jauh dari Desa Wall, di sebuah kerajaan bernama Stormhold, sang Raja (Peter O’Toole) sedang sekarat. Ia memanggil 4 anak laki-lakinya yang masih hidup, dan menguji mereka siapakah yang pantas menjadi raja setelah ia mangkat. Tapi, ke-empat anak laki-lakinya itu sama licik dengan sang ayah, yang tidak segan-segan membunuh saudaranya sendiri demi mendapatkan mahkota raja.
Dari empat yang tersisa tinggal 2, yaitu Septimus dan Primus, dan satu orang anak perempuan yang tidak diketahui keberadaannya bernama, Una. Sang ayah melemparkan kalung bermata merah delima, dan keturunan raja yang bisa menangkap kalung itulah yang berhak menggantikannya.
Kalung bermata merah delima itu jatuh di sebuah tempat, dan menjadi sebuah ‘bintang jatuh’. Banyak yang memburu bintang jatuh ini, selain tentu saja Septimus dan Primus. Tristan Thorn pun berjanji pada Victoria untuk menjadikan bintang jatuh itu sebagai hadiah ulang tahun, sebagai bukti cintanya pada Victoria. Lalu, ada penyihir bernama Lamia (Michelle Pfeiffer), yang berniat mengambil hati bintang jatuh itu agar bisa kembali muda dan cantik.
Memang Tristan-lah yang pertama kali bertemu si bintang jatuh, Yvaine (Claire Danes), tapi mereka tidak tahu bahwa banyak orang lain yang mengincar Yvaine.
Tristan hanya mempunyai waktu satu minggu untuk membawa Yvaine sebagai hadiah bagi Victoria. Dan, mereka berdua harus menghindari diri mereka dari kejaran si penyihir jahat Lamia yang setiap ia menggunakan sihirnya, semakin berkurang pula kemudaannya.
Paling asyik ngeliat kalo Yvaine di malam hari, seluruh tubuhnya memancarkan sinar dan bikin jadi kelihatan anggun dan cantik. ‘Perburuan’ Yvaine yang ditampilkan dalam suasana rada gelap menjadikan ketegangan sendiri dalam film ini. Tapi, ada juga bagian-bagian yang kocak. Misalnya, pertemuan Tristan dan Yvaine dengan kapten Shakespeare (Robert de Niro), bajak ‘udara’ penangkap kilat yang di luar kelihatan garang, tapi ternyata lembut’ banget. Atau, hantu-hantu anak-anak raja Stormhold yang masih terus gentayangan sampai raja yang baru ditemukan.
Udah pernah baca bukunya, tapi karena udah lama, jadi agak-agak lupa gimana alur ceritanya. Gue hanya inget bagian Dunstan yang ngelewatin tembok, tapi lupa tuh kalo ada anak-anak Raja Stormhold. It’s a nice movie anyway. Genre fantasi, komedi tapi romantis…
Di desa itu, Dunstan terpikat pada seorang gadis cantik yang dijadikan budak oleh salah satu pedagang. Katanya, ia adalah putri raja yang dikutuk jadi budak. Sembilan bulan setelah pertemuan singkat itu, Dunstan menerima kiriman sebuah keranjang yang berisi bayi yang sudah diberi nama ‘Tristan’.
Tristan (Charlie Cox) tumbuh jadi pemuda tampan, tapi agak pemalu, bekerja di sebuah toko kelontong, hanya tinggal berdua dengan ayahnya . Ia menyukai seorang gadis bernama Victoria (Sienna Miller). Tapi, sayang, saingan Tristan adalah seorang pemuda kaya raya, Humphrey (Henry Cavill), yang kerap mengejek dan merendahkan Tristan.
Nun jauh dari Desa Wall, di sebuah kerajaan bernama Stormhold, sang Raja (Peter O’Toole) sedang sekarat. Ia memanggil 4 anak laki-lakinya yang masih hidup, dan menguji mereka siapakah yang pantas menjadi raja setelah ia mangkat. Tapi, ke-empat anak laki-lakinya itu sama licik dengan sang ayah, yang tidak segan-segan membunuh saudaranya sendiri demi mendapatkan mahkota raja.
Dari empat yang tersisa tinggal 2, yaitu Septimus dan Primus, dan satu orang anak perempuan yang tidak diketahui keberadaannya bernama, Una. Sang ayah melemparkan kalung bermata merah delima, dan keturunan raja yang bisa menangkap kalung itulah yang berhak menggantikannya.
Kalung bermata merah delima itu jatuh di sebuah tempat, dan menjadi sebuah ‘bintang jatuh’. Banyak yang memburu bintang jatuh ini, selain tentu saja Septimus dan Primus. Tristan Thorn pun berjanji pada Victoria untuk menjadikan bintang jatuh itu sebagai hadiah ulang tahun, sebagai bukti cintanya pada Victoria. Lalu, ada penyihir bernama Lamia (Michelle Pfeiffer), yang berniat mengambil hati bintang jatuh itu agar bisa kembali muda dan cantik.
Memang Tristan-lah yang pertama kali bertemu si bintang jatuh, Yvaine (Claire Danes), tapi mereka tidak tahu bahwa banyak orang lain yang mengincar Yvaine.
Tristan hanya mempunyai waktu satu minggu untuk membawa Yvaine sebagai hadiah bagi Victoria. Dan, mereka berdua harus menghindari diri mereka dari kejaran si penyihir jahat Lamia yang setiap ia menggunakan sihirnya, semakin berkurang pula kemudaannya.
Paling asyik ngeliat kalo Yvaine di malam hari, seluruh tubuhnya memancarkan sinar dan bikin jadi kelihatan anggun dan cantik. ‘Perburuan’ Yvaine yang ditampilkan dalam suasana rada gelap menjadikan ketegangan sendiri dalam film ini. Tapi, ada juga bagian-bagian yang kocak. Misalnya, pertemuan Tristan dan Yvaine dengan kapten Shakespeare (Robert de Niro), bajak ‘udara’ penangkap kilat yang di luar kelihatan garang, tapi ternyata lembut’ banget. Atau, hantu-hantu anak-anak raja Stormhold yang masih terus gentayangan sampai raja yang baru ditemukan.
Udah pernah baca bukunya, tapi karena udah lama, jadi agak-agak lupa gimana alur ceritanya. Gue hanya inget bagian Dunstan yang ngelewatin tembok, tapi lupa tuh kalo ada anak-anak Raja Stormhold. It’s a nice movie anyway. Genre fantasi, komedi tapi romantis…
Chuck Levine (Adam Sandler) dan Larry Valentine (Kevin James) sama-sama sebagai petugas pemadam kebakaran. Sama-sama sering main basket bareng. Tapi, sifat keduanya rada bertolak belakang. Kalo Chuck gemar gonta-ganti cewek dan mata keranjang banget, Larry masih setia pada almarhumah istrinya, Paula; mengurus kedua anaknya dengan bantuan seorang pengasuh yang rada 'preman'. Larry punya kekhawatiran terhadap minat Eric, anak laki-lakinya yang gak biasa.
One day, dalam tugasnya, terjadi kecelakaan. Chuck hampir saja tertimpa reruntuhan bangunan, dan Larry-lah yang menyelamatkan nyawa Chuck meskipun harus menderita patah tulang juga. Chuck bilang, dia mau melakukan apa pun untuk membalas budi Larry.
Dan ketika itu, Larry sedang dalam keadaan gundah, takut akan terjadi apa-apa terhadap dirinya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Soalnya, ketika Larry berusaha mengurus uang pensiunnya yang kebetulan sebelumnya diwariskan kepada istrinya. Hanya ada 3 cara untuk mengalihkan dana itu ke ahli waris lain, yaitu menikah lagi, meninggal atau menunggu sampai anak-anaknya berusia 18 tahun. Larry takut, kalau dia menikah lagi, warisan itu malah jatuh ke tangan yang salah.
Tiba-tiba, Larry melihat tentang artikel pasangan gay di sebuah majalah, istilahnya 'domestic partner'. Muncullah ide untuk menagih janji Chuck, dengan mengajaknya menjadi domestic partner itu. Tentu saja, awalnya ide ini ditolak mentah-mentah oleh Chuck, apalagi Chuck adalah lelaki sejati, pengagum dan pemuja wanita. Tapi, akhirnya, mereka berangkat juga ke Las Vegas untuk menikah. Ini juga atas usul konsultan mereka, Alex (Jessica Biel). Karena kata Alex, jika hanya hidup bersama dalam satu rumah saja, bisa-bisa mereka dianggap tidak serius, karena akan ada petugas-petugas dari pengadilan yang memeriksa dan menyelidiki kehidupan pribadi mereka.
Pro dan kontra mulai bermunculan ketika mereka diketahui sudah menikah dan dianggap sebagai pasangan gay. Mulai dari teman-teman sesama petugas pemadam kebakaran yang enggan bermain basket bersama Chuck & Larry, lalu, Larry yang ditolak di berbagai kegiatan di sekolah anaknya, lalu Chuck yang harus menyembunyikan perasaannya terhadap Alex. Belum lagi mereka berdua mulai diundang ke pesta-pesta para kaum gay dan lesbian, dan beberapa teman yang mulai berani mengaku bahwa ia gay karena terinspirasi oleh Chuck dan Larry.
Filmnya kocak banget dan gak garing. Setiap adegan pasti ada humor yang bikin ketawa. Adegan paling mengharukan waktu anak-anak Larry menjenguk Larry di rumah sakit, dan mereka berpelukan karena anak-anaknya Larry inget kalau itu rumah sakit yang sama tempat ibu mereka meninggal. Dan yang paling kocak, waktu salah seorang teman di pemadam kebakaran, Fred G. Duncan (Ving Rhames), yang selama ini dikenal sebagai ex-murderer dan bertampang sangar banget, ngaku dia juga gay dan meluk Chuck dengan penuh perasaan di lapangan basket. O ya, gak ketinggalan 'pendeta' Jepang yang mungil di kapel tempat Chuck & Larry menikah.
One day, dalam tugasnya, terjadi kecelakaan. Chuck hampir saja tertimpa reruntuhan bangunan, dan Larry-lah yang menyelamatkan nyawa Chuck meskipun harus menderita patah tulang juga. Chuck bilang, dia mau melakukan apa pun untuk membalas budi Larry.
Dan ketika itu, Larry sedang dalam keadaan gundah, takut akan terjadi apa-apa terhadap dirinya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Soalnya, ketika Larry berusaha mengurus uang pensiunnya yang kebetulan sebelumnya diwariskan kepada istrinya. Hanya ada 3 cara untuk mengalihkan dana itu ke ahli waris lain, yaitu menikah lagi, meninggal atau menunggu sampai anak-anaknya berusia 18 tahun. Larry takut, kalau dia menikah lagi, warisan itu malah jatuh ke tangan yang salah.
Tiba-tiba, Larry melihat tentang artikel pasangan gay di sebuah majalah, istilahnya 'domestic partner'. Muncullah ide untuk menagih janji Chuck, dengan mengajaknya menjadi domestic partner itu. Tentu saja, awalnya ide ini ditolak mentah-mentah oleh Chuck, apalagi Chuck adalah lelaki sejati, pengagum dan pemuja wanita. Tapi, akhirnya, mereka berangkat juga ke Las Vegas untuk menikah. Ini juga atas usul konsultan mereka, Alex (Jessica Biel). Karena kata Alex, jika hanya hidup bersama dalam satu rumah saja, bisa-bisa mereka dianggap tidak serius, karena akan ada petugas-petugas dari pengadilan yang memeriksa dan menyelidiki kehidupan pribadi mereka.
Pro dan kontra mulai bermunculan ketika mereka diketahui sudah menikah dan dianggap sebagai pasangan gay. Mulai dari teman-teman sesama petugas pemadam kebakaran yang enggan bermain basket bersama Chuck & Larry, lalu, Larry yang ditolak di berbagai kegiatan di sekolah anaknya, lalu Chuck yang harus menyembunyikan perasaannya terhadap Alex. Belum lagi mereka berdua mulai diundang ke pesta-pesta para kaum gay dan lesbian, dan beberapa teman yang mulai berani mengaku bahwa ia gay karena terinspirasi oleh Chuck dan Larry.
Filmnya kocak banget dan gak garing. Setiap adegan pasti ada humor yang bikin ketawa. Adegan paling mengharukan waktu anak-anak Larry menjenguk Larry di rumah sakit, dan mereka berpelukan karena anak-anaknya Larry inget kalau itu rumah sakit yang sama tempat ibu mereka meninggal. Dan yang paling kocak, waktu salah seorang teman di pemadam kebakaran, Fred G. Duncan (Ving Rhames), yang selama ini dikenal sebagai ex-murderer dan bertampang sangar banget, ngaku dia juga gay dan meluk Chuck dengan penuh perasaan di lapangan basket. O ya, gak ketinggalan 'pendeta' Jepang yang mungil di kapel tempat Chuck & Larry menikah.
Labels: comedy
Tidak ada yang salah dengan kehidupan Abby Randall (Maria Bello) dan suaminya, Neil Randall (Gerard Butler). Mesra, hangat, ditambah lagi dengan adanya anak perempuan mereka, Sophie. Pokoknya keluarga bahagia dan sejahtera deh. Apalagi karir Neil di kantor juga sedang menanjak. Neil jadi anak emas boss-nya, Karl. Hampir semua tugas berat diberikan ke Neil, karena terbukti selalu berhasil, dan bikin teman Neil gigit jari karena gak dapet proyek.
Suatu hari, berencana berakhir pekan di sebuah pondok atas undangan Karl, dan Abby pergi bersama Diane, kakaknya, untuk merayakan ulang tahunnya. Sophie pun dititipkan pada pengasuh anak-anak di rumah. Meskipun agak tidak tenang, Abby dan Neil tetap pergi. Rencananya Neil akan mengantar Abby dulu sebelum ia sendiri pergi.
Semua berlangsung dengan tenang, sampai tiba-tiba seorang laki-laki muncul di kursi belakang mobil mereka dan menodongkan pistol. Laki-laki itu bernama Tom Ryan (Pierce Brosnan) bilang kalo ia bersekongkol dengan pengasuh anak-anak yang disewa Abby dan Neil untuk menculik Sophie.
Sebenarnya, Tom tidak punya kepentingan apa-apa dalam atas apa pun yang terjadi dengan Keluarga Randall. Ia hanya ingin mengetes, seberapa jauh mereka mau melakukan apapun demi menyelamatkan nyawa Sophie.
Mulailah serangkaian tugas dan permintaan aneh dari Tom yang mau tidak mau harus dituruti oleh Abby dan Randall. Mulai dari mencairkan semua dana di bank lalu menyaksikan uang mereka dibakar oleh Tom dengan seenaknya, lalu terpaksa menjual gelang dan jam tangan mahal mereka untuk membayar tagihan makan dan minum Tom di restoran mahal (karena uang dan kartu kredit mereka diambil sama Tom), sampai akhirnya Tom meminta Neil untuk menembak Karl, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak ada kaitan dengan Tom. Tapi, ya, itu tujuannya, seberapa jauh sih mereka mau melakukan semua untuk keselamatan putrinya?
Semua permintaan Tom membuat emosi Abby dan Neil terkuras. Sisi psikologis mereka dipermainkan. Bikin frustasi, karena mereka sama sekali gak tau, apa sih sebenarnya tujuan si Tom itu? Rasa tertekan malah kadang membuat mereka berdua jadi bertengkar.
Gue suka sih film ini, thriller bercampur drama. Bikin yang nonton juga emosi...
Suatu hari, berencana berakhir pekan di sebuah pondok atas undangan Karl, dan Abby pergi bersama Diane, kakaknya, untuk merayakan ulang tahunnya. Sophie pun dititipkan pada pengasuh anak-anak di rumah. Meskipun agak tidak tenang, Abby dan Neil tetap pergi. Rencananya Neil akan mengantar Abby dulu sebelum ia sendiri pergi.
Semua berlangsung dengan tenang, sampai tiba-tiba seorang laki-laki muncul di kursi belakang mobil mereka dan menodongkan pistol. Laki-laki itu bernama Tom Ryan (Pierce Brosnan) bilang kalo ia bersekongkol dengan pengasuh anak-anak yang disewa Abby dan Neil untuk menculik Sophie.
Sebenarnya, Tom tidak punya kepentingan apa-apa dalam atas apa pun yang terjadi dengan Keluarga Randall. Ia hanya ingin mengetes, seberapa jauh mereka mau melakukan apapun demi menyelamatkan nyawa Sophie.
Mulailah serangkaian tugas dan permintaan aneh dari Tom yang mau tidak mau harus dituruti oleh Abby dan Randall. Mulai dari mencairkan semua dana di bank lalu menyaksikan uang mereka dibakar oleh Tom dengan seenaknya, lalu terpaksa menjual gelang dan jam tangan mahal mereka untuk membayar tagihan makan dan minum Tom di restoran mahal (karena uang dan kartu kredit mereka diambil sama Tom), sampai akhirnya Tom meminta Neil untuk menembak Karl, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak ada kaitan dengan Tom. Tapi, ya, itu tujuannya, seberapa jauh sih mereka mau melakukan semua untuk keselamatan putrinya?
Semua permintaan Tom membuat emosi Abby dan Neil terkuras. Sisi psikologis mereka dipermainkan. Bikin frustasi, karena mereka sama sekali gak tau, apa sih sebenarnya tujuan si Tom itu? Rasa tertekan malah kadang membuat mereka berdua jadi bertengkar.
Gue suka sih film ini, thriller bercampur drama. Bikin yang nonton juga emosi...
Labels: Butterfly on A Wheel, drama, thriller
Sasha (Logan Browning), Jade (Janel Parrish), Cloe (Skyler Shaye) dan Yasmin (Nathalia Ramos), empat orang sahabat, menyambut hari pertama mereka masuk ke SMU dengan rasa gembira, deg-degan… pokoknya excited banget. Untung mereka berempat, jadi mereka gak perlu khawatir untuk gak diterima di lingkungan baru, karena mereka toh, juga anak-anak yang supel dan gampang bergaul. Mereka juga udah memutuskan ekskul apa yang bakal mereka ikuti. Karena, mereka juga punya minat yang beda-beda.
Tapi, keberadaan mereka berempat, dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi ketua murid, Meredith (Chelsea Staub), yang pengen selalu jadi pusat perhatian. Meredith khawatir, kalau mereka berempat akan mencuri perhatian murid-murid lain dari dirinya. Dengan segala cara, Meredith berusaha memisahkan mereka, dengan membuat aturan, kalau semua harus berpencar, gak boleh ada kelompok-kelompok, padahal sih, si Meredith sendiri selalu dikelilingi ‘dayang-dayang’nya. Meredith berkuasa penuh atas semua peraturan di sekolah itu. Meskipun, ayahnya kepala sekolah di sana, tapi, tetap Meredith yang memegang kontrol di sekolah itu.
Usaha Meredith untuk memisahkan Sasha, Jade, Cloe dan Yasmin ternyata berhasil. Sasha segera ngumpul bareng kelompok cheerleader, Jade bareng kelompok sains-nya, dan Cloe sama tim sepakbola perempuan. Tinggal, Yasmin yang pemalu jadi sendirian. Sebenernya, Yasmin pengen bergabung sama kelompok paduan suara, karena dia punya suara yang bagus, tapi, sifat pemalunya mengalahkan keinginan itu. Akhirnya, semua sibuk dengan kelompoknya masing-masing dan membuat mereka jalan sendiri-sendiri.
Kejadian itu berlangsung selama dua tahun. Persahabatan mereka ‘putus’ dan semuanya jadi acuh tak acuh. Tapi, suatu kejadian membuat mereka ‘dihukum’ bareng (hukuman atas perintah Meredith), yang cemburu karena Cloe mendekati salah satu cowok di kelompoknya. Tapi, ternyata, kejadian itu malah bikin mereka dekat lagi. Meredith gak rela. Dia mulai merencanakan hal lain untuk mempermalukan mereka dan kembali membuat mereka terpisah.
Ihhhh.. gregetan banget ngeliat si Meredith. Centil… selalu bersikap manis, tapi, licik. Selalu mau jadi pusat perhatian, meskipun harus mempermalukan orang. Pokoknya harus selalu jadi nomer satu. Acara ‘talent show’ di sekolah, dikontrol sama Meredith, semua yang lolos audisi yang jelek-jelek, supaya dia sendiri bisa menang.
Awalnya, ngeliat the Brazt, kirain semua anak-anak orang kaya yang hanya mentingin fashion. Tapi, ternyata nggak tuh. Cloe misalnya, ternyata anak seorang pelayan yang bekerja di rumah Meredith, Jade yang meskipun gaul, tapi pinter di kimia dan matematika, Sasha anak dari orang tua yang bercerai dan Yasmin punya adik yang sok keren banget.
Film Bratz ini diangkat dari karakter di TV series, ada bonekanya juga.
Lumayan buat hiburan.
Tapi, keberadaan mereka berempat, dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi ketua murid, Meredith (Chelsea Staub), yang pengen selalu jadi pusat perhatian. Meredith khawatir, kalau mereka berempat akan mencuri perhatian murid-murid lain dari dirinya. Dengan segala cara, Meredith berusaha memisahkan mereka, dengan membuat aturan, kalau semua harus berpencar, gak boleh ada kelompok-kelompok, padahal sih, si Meredith sendiri selalu dikelilingi ‘dayang-dayang’nya. Meredith berkuasa penuh atas semua peraturan di sekolah itu. Meskipun, ayahnya kepala sekolah di sana, tapi, tetap Meredith yang memegang kontrol di sekolah itu.
Usaha Meredith untuk memisahkan Sasha, Jade, Cloe dan Yasmin ternyata berhasil. Sasha segera ngumpul bareng kelompok cheerleader, Jade bareng kelompok sains-nya, dan Cloe sama tim sepakbola perempuan. Tinggal, Yasmin yang pemalu jadi sendirian. Sebenernya, Yasmin pengen bergabung sama kelompok paduan suara, karena dia punya suara yang bagus, tapi, sifat pemalunya mengalahkan keinginan itu. Akhirnya, semua sibuk dengan kelompoknya masing-masing dan membuat mereka jalan sendiri-sendiri.
Kejadian itu berlangsung selama dua tahun. Persahabatan mereka ‘putus’ dan semuanya jadi acuh tak acuh. Tapi, suatu kejadian membuat mereka ‘dihukum’ bareng (hukuman atas perintah Meredith), yang cemburu karena Cloe mendekati salah satu cowok di kelompoknya. Tapi, ternyata, kejadian itu malah bikin mereka dekat lagi. Meredith gak rela. Dia mulai merencanakan hal lain untuk mempermalukan mereka dan kembali membuat mereka terpisah.
Ihhhh.. gregetan banget ngeliat si Meredith. Centil… selalu bersikap manis, tapi, licik. Selalu mau jadi pusat perhatian, meskipun harus mempermalukan orang. Pokoknya harus selalu jadi nomer satu. Acara ‘talent show’ di sekolah, dikontrol sama Meredith, semua yang lolos audisi yang jelek-jelek, supaya dia sendiri bisa menang.
Awalnya, ngeliat the Brazt, kirain semua anak-anak orang kaya yang hanya mentingin fashion. Tapi, ternyata nggak tuh. Cloe misalnya, ternyata anak seorang pelayan yang bekerja di rumah Meredith, Jade yang meskipun gaul, tapi pinter di kimia dan matematika, Sasha anak dari orang tua yang bercerai dan Yasmin punya adik yang sok keren banget.
Film Bratz ini diangkat dari karakter di TV series, ada bonekanya juga.
Lumayan buat hiburan.
Ambisi seseorang ternyata bisa bikin apa pun jadi nyata dan halal. Breckel (Robert Mammone), seorang produser sedang merancang sebuah acara reality show yang akan sangat menggemparkan dunia. Acara itu tidak akan disiarkan di televisi, tapi bisa di-download melalui internet.
10 orang narapidana yang sudah divonis mati, dikumpulkan demi acara ini. Mereka akan diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Mereka harus bertarung, dan satu-satunya yang hiduplah yang jadi pemenang. Kesepuluh orang itu, 2 di antaranya perempuan, bertampang sangar, berbadan besar, penjahat kelas berat, ada juga yang pasangan suami istri. Untuk ngurusin mereka pun, para crew tv harus keras juga menghadapi mereka. Di kaki mereka dipasang bom dan GPRS. Kunci penjinak bom itu dipegang oleh Breckel, dan jika dicabut secara paksa, maka, meledaklah bom itu.
10 orang itu diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Begitu ketemu lawan, mereka langsung bertarung. Mereka harus bertahan selama 30 jam di pulau itu. Iiihhh... beberapa di antara mereka emang bener-bener licik tampangnya. Di antara mereka juga ada yang bekerja sama untuk saling menghabisi lawan-lawan mereka.
Setelah acara berlangsung selama beberapa jam, rating-nya langsung naik, meskipun menimbulkan pertentangan di antara para crew sendiri. Ada yang menganggap terlalu sadis dan gak punya perasaan, tapi ada yang terus mendukung. Breckel sendiri, tidak peduli, ia berambisi mengalahkan rating penonton Superbowl.
Ternyata, si Breckel licik banget, begitu, lokasi mereka berhasil ditemukan FBI, dia pergi sendirian, mau meninggalkan para crew, dan keuntungan acara itu juga mau diambil sendiri.
Kalo, diikutin dari awal, bakal ketebak sih, siapa yang nantinya bakal jadi satu-satunya yang hidup. Dan, ending-nya, agak mengecewakan nih... Semua mati... kecuali satu narapidana dan satu crew yang baik...
10 orang narapidana yang sudah divonis mati, dikumpulkan demi acara ini. Mereka akan diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Mereka harus bertarung, dan satu-satunya yang hiduplah yang jadi pemenang. Kesepuluh orang itu, 2 di antaranya perempuan, bertampang sangar, berbadan besar, penjahat kelas berat, ada juga yang pasangan suami istri. Untuk ngurusin mereka pun, para crew tv harus keras juga menghadapi mereka. Di kaki mereka dipasang bom dan GPRS. Kunci penjinak bom itu dipegang oleh Breckel, dan jika dicabut secara paksa, maka, meledaklah bom itu.
10 orang itu diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Begitu ketemu lawan, mereka langsung bertarung. Mereka harus bertahan selama 30 jam di pulau itu. Iiihhh... beberapa di antara mereka emang bener-bener licik tampangnya. Di antara mereka juga ada yang bekerja sama untuk saling menghabisi lawan-lawan mereka.
Setelah acara berlangsung selama beberapa jam, rating-nya langsung naik, meskipun menimbulkan pertentangan di antara para crew sendiri. Ada yang menganggap terlalu sadis dan gak punya perasaan, tapi ada yang terus mendukung. Breckel sendiri, tidak peduli, ia berambisi mengalahkan rating penonton Superbowl.
Ternyata, si Breckel licik banget, begitu, lokasi mereka berhasil ditemukan FBI, dia pergi sendirian, mau meninggalkan para crew, dan keuntungan acara itu juga mau diambil sendiri.
Kalo, diikutin dari awal, bakal ketebak sih, siapa yang nantinya bakal jadi satu-satunya yang hidup. Dan, ending-nya, agak mengecewakan nih... Semua mati... kecuali satu narapidana dan satu crew yang baik...
Labels: action, The Condemned
Di sebuah sudut kota Jakarta, 20 tahun yang lalu, di saat yang hampir bersamaan, 4 orang ibu sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka. Keempat anak itu tumbuh menjadi sahabat karena memang mereka bertetangga di sebuah kampung. Sejak balita, masuk SD mereka selalu sama-sama. Mandi di kali, main layangan di atas genteng rumah.
Ketika beranjak dewasa, mereka punya cita-cita yang berbeda. Mae (Nirina Zubir), satu-satunya perempuan di antara mereka, lulus dari sekolah sekretaris, padalah cita-cita sebenarnya jadi Polwan. Bisa jadi dipengaruhi sifat tomboynya karena bergaul dengan anak laki-laki. Lalu, ada Guntoro (Desta ‘Club Eighties’), punya cita-cita jadi pelaut, tapi tidak kesampaian, terus, Beni (Ringgo Agus Rahman), si ‘boxer-wanna be’ yang malah sekolah pertanian, dan Eman (Aming) hanya bertahan satu bulan di pesantren, karena cita-cita sesungguhnya jadi politikus.
Mereka berempat berakhir jadi sekelompok anak muda yang frustasi dan jadi pengangguran. Beruntung sih, mereka anak baik-baik, kerjaan mereka paling-paling nongkron di pondok pinggir kali, main gaple dan cela-celaan.
Masalah muncul, ketika Pak Mardi (Jaja Mihardja) dan Bu Mardi (Meriam Bellina) khawatir dengan Mae. Sikap tomboy Mae memicu kekhawatiran kalo Mae gak bakal dapet jodoh. Karena mereka tau, di kampung mereka gak akan ada yang mau sama Mae yang galak, maka mereka berdua berkeliling ke kampung tetangga untuk mencari anak laki-laki sebagai jodoh potensial anak perempuan mereka satu-satunya itu.
Datanglah calon pertama, seorang guru SMP yang culun. Mae dipaksa berdandan layaknya seorang perempuan yang feminine. Tentu saja calon satu ini gak berkenan di hati Mae, dan Mae langsung member I isyarat warna merah pada Beni, yang artinya calon ini ‘ditolak’. Calon kedua juga pemuda culun, ditolak Mae. Calon-calon yang ditolak Mae diberi pelajaran oleh Beni, Guntoro dan Eman, biar mereka gak berani lagi balik ke kampun itu untuk ketemu sama Mae.
Baru, pas calon ketiga datang, seorang binaragawan bertubuh besar, yang juga ditolak Mae. Tapi, malah teman-teman Mae yang masuk rumah sakit karena dihajar binaragawan itu. Ternyata, Bobby, nama cowok itu, adalah bodyguard seorang cowok keren, anak orang kaya bernama Rendy (Richard Kevin). Rendy, yang capek pacaran dengan cewek manja, tertantang untuk mendekati Mae setelah mendengar deskripsi Bobby.
Datanglah Rendy ke kampung Mae, yang langsung disambut tatapan tak percaya dari orang tua Mae. Mae gak yang gak sempet dandan, malah langsung membuat Rendy jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gaya tomboy dan cueknya. Mae juga langsung klepek-klepek… akhirnya Mae jatuh cinta.
Tapi, semua jadi runyam, gara-gara Eman yang buta warna salah membaca isyarat dari Mae. Yang harusnya warna hijau, malah diterjemahkan warna merah oleh Eman. Langsung ketiga sahabat Mae itu menghadang Rendy ketika ia pulang dari rumah Mae. Demi solidaritas, mereka menghajar Rendy. Rendy pun ngambek.
Buntutnya, Bu Mardi stress dan masuk rumah sakit. Mae merasa bersalah,s ampai-sampai karena putus asa, ia meminta salah satu dari temannya untuk jadi pendampingnya dan mau menikahinya. Ketiga cowok itu akhirnya mengundi,s iapa yang harus jadi pendamping Mae.
Ceritanya lumayan kocak, cerita tentang persahabatan. Yang paling mengharukan, adalah pas Mae marah karena Eman salah baca tanda, dan mereka semua bilang, sebenernya apa pun warna isyarat dari Mae, mereka akan tetap bilang itu ‘merah’ karena mereka sayang sama Mae, dan gak rela Mae diambil orang lain.
Yang membuat gue rada gak sreg, sih, adegan tawuran antar kelompok kompleksnya Rendy yang anak-anak orang kaya melawan anak-anak kampung Mae. Uuhhh… sebel aja litany. Ternyata, mau anak kampung, mau anak kompleks elit, sama aja… ujung-ujungnya tawuran juga… padahal si Rendy sendiri bilang, yang pake kekerasan hanya orang-orang primitif. Tapi, kalo udah emosi… gak ada deh, yang namanya pake otak.
Untung, ending-nya adalah pas Mae mau nikah, gak berakhir kaya’ sinetron dengan adegan menangis. Meski Mae gak nikah sama cowok yang dimau, tetap aja… cekikikan…
Ketika beranjak dewasa, mereka punya cita-cita yang berbeda. Mae (Nirina Zubir), satu-satunya perempuan di antara mereka, lulus dari sekolah sekretaris, padalah cita-cita sebenarnya jadi Polwan. Bisa jadi dipengaruhi sifat tomboynya karena bergaul dengan anak laki-laki. Lalu, ada Guntoro (Desta ‘Club Eighties’), punya cita-cita jadi pelaut, tapi tidak kesampaian, terus, Beni (Ringgo Agus Rahman), si ‘boxer-wanna be’ yang malah sekolah pertanian, dan Eman (Aming) hanya bertahan satu bulan di pesantren, karena cita-cita sesungguhnya jadi politikus.
Mereka berempat berakhir jadi sekelompok anak muda yang frustasi dan jadi pengangguran. Beruntung sih, mereka anak baik-baik, kerjaan mereka paling-paling nongkron di pondok pinggir kali, main gaple dan cela-celaan.
Masalah muncul, ketika Pak Mardi (Jaja Mihardja) dan Bu Mardi (Meriam Bellina) khawatir dengan Mae. Sikap tomboy Mae memicu kekhawatiran kalo Mae gak bakal dapet jodoh. Karena mereka tau, di kampung mereka gak akan ada yang mau sama Mae yang galak, maka mereka berdua berkeliling ke kampung tetangga untuk mencari anak laki-laki sebagai jodoh potensial anak perempuan mereka satu-satunya itu.
Datanglah calon pertama, seorang guru SMP yang culun. Mae dipaksa berdandan layaknya seorang perempuan yang feminine. Tentu saja calon satu ini gak berkenan di hati Mae, dan Mae langsung member I isyarat warna merah pada Beni, yang artinya calon ini ‘ditolak’. Calon kedua juga pemuda culun, ditolak Mae. Calon-calon yang ditolak Mae diberi pelajaran oleh Beni, Guntoro dan Eman, biar mereka gak berani lagi balik ke kampun itu untuk ketemu sama Mae.
Baru, pas calon ketiga datang, seorang binaragawan bertubuh besar, yang juga ditolak Mae. Tapi, malah teman-teman Mae yang masuk rumah sakit karena dihajar binaragawan itu. Ternyata, Bobby, nama cowok itu, adalah bodyguard seorang cowok keren, anak orang kaya bernama Rendy (Richard Kevin). Rendy, yang capek pacaran dengan cewek manja, tertantang untuk mendekati Mae setelah mendengar deskripsi Bobby.
Datanglah Rendy ke kampung Mae, yang langsung disambut tatapan tak percaya dari orang tua Mae. Mae gak yang gak sempet dandan, malah langsung membuat Rendy jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gaya tomboy dan cueknya. Mae juga langsung klepek-klepek… akhirnya Mae jatuh cinta.
Tapi, semua jadi runyam, gara-gara Eman yang buta warna salah membaca isyarat dari Mae. Yang harusnya warna hijau, malah diterjemahkan warna merah oleh Eman. Langsung ketiga sahabat Mae itu menghadang Rendy ketika ia pulang dari rumah Mae. Demi solidaritas, mereka menghajar Rendy. Rendy pun ngambek.
Buntutnya, Bu Mardi stress dan masuk rumah sakit. Mae merasa bersalah,s ampai-sampai karena putus asa, ia meminta salah satu dari temannya untuk jadi pendampingnya dan mau menikahinya. Ketiga cowok itu akhirnya mengundi,s iapa yang harus jadi pendamping Mae.
Ceritanya lumayan kocak, cerita tentang persahabatan. Yang paling mengharukan, adalah pas Mae marah karena Eman salah baca tanda, dan mereka semua bilang, sebenernya apa pun warna isyarat dari Mae, mereka akan tetap bilang itu ‘merah’ karena mereka sayang sama Mae, dan gak rela Mae diambil orang lain.
Yang membuat gue rada gak sreg, sih, adegan tawuran antar kelompok kompleksnya Rendy yang anak-anak orang kaya melawan anak-anak kampung Mae. Uuhhh… sebel aja litany. Ternyata, mau anak kampung, mau anak kompleks elit, sama aja… ujung-ujungnya tawuran juga… padahal si Rendy sendiri bilang, yang pake kekerasan hanya orang-orang primitif. Tapi, kalo udah emosi… gak ada deh, yang namanya pake otak.
Untung, ending-nya adalah pas Mae mau nikah, gak berakhir kaya’ sinetron dengan adegan menangis. Meski Mae gak nikah sama cowok yang dimau, tetap aja… cekikikan…
Labels: Get Married, Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)