Tidak ada yang salah dengan kehidupan Abby Randall (Maria Bello) dan suaminya, Neil Randall (Gerard Butler). Mesra, hangat, ditambah lagi dengan adanya anak perempuan mereka, Sophie. Pokoknya keluarga bahagia dan sejahtera deh. Apalagi karir Neil di kantor juga sedang menanjak. Neil jadi anak emas boss-nya, Karl. Hampir semua tugas berat diberikan ke Neil, karena terbukti selalu berhasil, dan bikin teman Neil gigit jari karena gak dapet proyek.
Suatu hari, berencana berakhir pekan di sebuah pondok atas undangan Karl, dan Abby pergi bersama Diane, kakaknya, untuk merayakan ulang tahunnya. Sophie pun dititipkan pada pengasuh anak-anak di rumah. Meskipun agak tidak tenang, Abby dan Neil tetap pergi. Rencananya Neil akan mengantar Abby dulu sebelum ia sendiri pergi.
Semua berlangsung dengan tenang, sampai tiba-tiba seorang laki-laki muncul di kursi belakang mobil mereka dan menodongkan pistol. Laki-laki itu bernama Tom Ryan (Pierce Brosnan) bilang kalo ia bersekongkol dengan pengasuh anak-anak yang disewa Abby dan Neil untuk menculik Sophie.
Sebenarnya, Tom tidak punya kepentingan apa-apa dalam atas apa pun yang terjadi dengan Keluarga Randall. Ia hanya ingin mengetes, seberapa jauh mereka mau melakukan apapun demi menyelamatkan nyawa Sophie.
Mulailah serangkaian tugas dan permintaan aneh dari Tom yang mau tidak mau harus dituruti oleh Abby dan Randall. Mulai dari mencairkan semua dana di bank lalu menyaksikan uang mereka dibakar oleh Tom dengan seenaknya, lalu terpaksa menjual gelang dan jam tangan mahal mereka untuk membayar tagihan makan dan minum Tom di restoran mahal (karena uang dan kartu kredit mereka diambil sama Tom), sampai akhirnya Tom meminta Neil untuk menembak Karl, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak ada kaitan dengan Tom. Tapi, ya, itu tujuannya, seberapa jauh sih mereka mau melakukan semua untuk keselamatan putrinya?
Semua permintaan Tom membuat emosi Abby dan Neil terkuras. Sisi psikologis mereka dipermainkan. Bikin frustasi, karena mereka sama sekali gak tau, apa sih sebenarnya tujuan si Tom itu? Rasa tertekan malah kadang membuat mereka berdua jadi bertengkar.
Gue suka sih film ini, thriller bercampur drama. Bikin yang nonton juga emosi...
Suatu hari, berencana berakhir pekan di sebuah pondok atas undangan Karl, dan Abby pergi bersama Diane, kakaknya, untuk merayakan ulang tahunnya. Sophie pun dititipkan pada pengasuh anak-anak di rumah. Meskipun agak tidak tenang, Abby dan Neil tetap pergi. Rencananya Neil akan mengantar Abby dulu sebelum ia sendiri pergi.
Semua berlangsung dengan tenang, sampai tiba-tiba seorang laki-laki muncul di kursi belakang mobil mereka dan menodongkan pistol. Laki-laki itu bernama Tom Ryan (Pierce Brosnan) bilang kalo ia bersekongkol dengan pengasuh anak-anak yang disewa Abby dan Neil untuk menculik Sophie.
Sebenarnya, Tom tidak punya kepentingan apa-apa dalam atas apa pun yang terjadi dengan Keluarga Randall. Ia hanya ingin mengetes, seberapa jauh mereka mau melakukan apapun demi menyelamatkan nyawa Sophie.
Mulailah serangkaian tugas dan permintaan aneh dari Tom yang mau tidak mau harus dituruti oleh Abby dan Randall. Mulai dari mencairkan semua dana di bank lalu menyaksikan uang mereka dibakar oleh Tom dengan seenaknya, lalu terpaksa menjual gelang dan jam tangan mahal mereka untuk membayar tagihan makan dan minum Tom di restoran mahal (karena uang dan kartu kredit mereka diambil sama Tom), sampai akhirnya Tom meminta Neil untuk menembak Karl, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak ada kaitan dengan Tom. Tapi, ya, itu tujuannya, seberapa jauh sih mereka mau melakukan semua untuk keselamatan putrinya?
Semua permintaan Tom membuat emosi Abby dan Neil terkuras. Sisi psikologis mereka dipermainkan. Bikin frustasi, karena mereka sama sekali gak tau, apa sih sebenarnya tujuan si Tom itu? Rasa tertekan malah kadang membuat mereka berdua jadi bertengkar.
Gue suka sih film ini, thriller bercampur drama. Bikin yang nonton juga emosi...
Labels: Butterfly on A Wheel, drama, thriller
Sasha (Logan Browning), Jade (Janel Parrish), Cloe (Skyler Shaye) dan Yasmin (Nathalia Ramos), empat orang sahabat, menyambut hari pertama mereka masuk ke SMU dengan rasa gembira, deg-degan… pokoknya excited banget. Untung mereka berempat, jadi mereka gak perlu khawatir untuk gak diterima di lingkungan baru, karena mereka toh, juga anak-anak yang supel dan gampang bergaul. Mereka juga udah memutuskan ekskul apa yang bakal mereka ikuti. Karena, mereka juga punya minat yang beda-beda.
Tapi, keberadaan mereka berempat, dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi ketua murid, Meredith (Chelsea Staub), yang pengen selalu jadi pusat perhatian. Meredith khawatir, kalau mereka berempat akan mencuri perhatian murid-murid lain dari dirinya. Dengan segala cara, Meredith berusaha memisahkan mereka, dengan membuat aturan, kalau semua harus berpencar, gak boleh ada kelompok-kelompok, padahal sih, si Meredith sendiri selalu dikelilingi ‘dayang-dayang’nya. Meredith berkuasa penuh atas semua peraturan di sekolah itu. Meskipun, ayahnya kepala sekolah di sana, tapi, tetap Meredith yang memegang kontrol di sekolah itu.
Usaha Meredith untuk memisahkan Sasha, Jade, Cloe dan Yasmin ternyata berhasil. Sasha segera ngumpul bareng kelompok cheerleader, Jade bareng kelompok sains-nya, dan Cloe sama tim sepakbola perempuan. Tinggal, Yasmin yang pemalu jadi sendirian. Sebenernya, Yasmin pengen bergabung sama kelompok paduan suara, karena dia punya suara yang bagus, tapi, sifat pemalunya mengalahkan keinginan itu. Akhirnya, semua sibuk dengan kelompoknya masing-masing dan membuat mereka jalan sendiri-sendiri.
Kejadian itu berlangsung selama dua tahun. Persahabatan mereka ‘putus’ dan semuanya jadi acuh tak acuh. Tapi, suatu kejadian membuat mereka ‘dihukum’ bareng (hukuman atas perintah Meredith), yang cemburu karena Cloe mendekati salah satu cowok di kelompoknya. Tapi, ternyata, kejadian itu malah bikin mereka dekat lagi. Meredith gak rela. Dia mulai merencanakan hal lain untuk mempermalukan mereka dan kembali membuat mereka terpisah.
Ihhhh.. gregetan banget ngeliat si Meredith. Centil… selalu bersikap manis, tapi, licik. Selalu mau jadi pusat perhatian, meskipun harus mempermalukan orang. Pokoknya harus selalu jadi nomer satu. Acara ‘talent show’ di sekolah, dikontrol sama Meredith, semua yang lolos audisi yang jelek-jelek, supaya dia sendiri bisa menang.
Awalnya, ngeliat the Brazt, kirain semua anak-anak orang kaya yang hanya mentingin fashion. Tapi, ternyata nggak tuh. Cloe misalnya, ternyata anak seorang pelayan yang bekerja di rumah Meredith, Jade yang meskipun gaul, tapi pinter di kimia dan matematika, Sasha anak dari orang tua yang bercerai dan Yasmin punya adik yang sok keren banget.
Film Bratz ini diangkat dari karakter di TV series, ada bonekanya juga.
Lumayan buat hiburan.
Tapi, keberadaan mereka berempat, dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi ketua murid, Meredith (Chelsea Staub), yang pengen selalu jadi pusat perhatian. Meredith khawatir, kalau mereka berempat akan mencuri perhatian murid-murid lain dari dirinya. Dengan segala cara, Meredith berusaha memisahkan mereka, dengan membuat aturan, kalau semua harus berpencar, gak boleh ada kelompok-kelompok, padahal sih, si Meredith sendiri selalu dikelilingi ‘dayang-dayang’nya. Meredith berkuasa penuh atas semua peraturan di sekolah itu. Meskipun, ayahnya kepala sekolah di sana, tapi, tetap Meredith yang memegang kontrol di sekolah itu.
Usaha Meredith untuk memisahkan Sasha, Jade, Cloe dan Yasmin ternyata berhasil. Sasha segera ngumpul bareng kelompok cheerleader, Jade bareng kelompok sains-nya, dan Cloe sama tim sepakbola perempuan. Tinggal, Yasmin yang pemalu jadi sendirian. Sebenernya, Yasmin pengen bergabung sama kelompok paduan suara, karena dia punya suara yang bagus, tapi, sifat pemalunya mengalahkan keinginan itu. Akhirnya, semua sibuk dengan kelompoknya masing-masing dan membuat mereka jalan sendiri-sendiri.
Kejadian itu berlangsung selama dua tahun. Persahabatan mereka ‘putus’ dan semuanya jadi acuh tak acuh. Tapi, suatu kejadian membuat mereka ‘dihukum’ bareng (hukuman atas perintah Meredith), yang cemburu karena Cloe mendekati salah satu cowok di kelompoknya. Tapi, ternyata, kejadian itu malah bikin mereka dekat lagi. Meredith gak rela. Dia mulai merencanakan hal lain untuk mempermalukan mereka dan kembali membuat mereka terpisah.
Ihhhh.. gregetan banget ngeliat si Meredith. Centil… selalu bersikap manis, tapi, licik. Selalu mau jadi pusat perhatian, meskipun harus mempermalukan orang. Pokoknya harus selalu jadi nomer satu. Acara ‘talent show’ di sekolah, dikontrol sama Meredith, semua yang lolos audisi yang jelek-jelek, supaya dia sendiri bisa menang.
Awalnya, ngeliat the Brazt, kirain semua anak-anak orang kaya yang hanya mentingin fashion. Tapi, ternyata nggak tuh. Cloe misalnya, ternyata anak seorang pelayan yang bekerja di rumah Meredith, Jade yang meskipun gaul, tapi pinter di kimia dan matematika, Sasha anak dari orang tua yang bercerai dan Yasmin punya adik yang sok keren banget.
Film Bratz ini diangkat dari karakter di TV series, ada bonekanya juga.
Lumayan buat hiburan.
Ambisi seseorang ternyata bisa bikin apa pun jadi nyata dan halal. Breckel (Robert Mammone), seorang produser sedang merancang sebuah acara reality show yang akan sangat menggemparkan dunia. Acara itu tidak akan disiarkan di televisi, tapi bisa di-download melalui internet.
10 orang narapidana yang sudah divonis mati, dikumpulkan demi acara ini. Mereka akan diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Mereka harus bertarung, dan satu-satunya yang hiduplah yang jadi pemenang. Kesepuluh orang itu, 2 di antaranya perempuan, bertampang sangar, berbadan besar, penjahat kelas berat, ada juga yang pasangan suami istri. Untuk ngurusin mereka pun, para crew tv harus keras juga menghadapi mereka. Di kaki mereka dipasang bom dan GPRS. Kunci penjinak bom itu dipegang oleh Breckel, dan jika dicabut secara paksa, maka, meledaklah bom itu.
10 orang itu diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Begitu ketemu lawan, mereka langsung bertarung. Mereka harus bertahan selama 30 jam di pulau itu. Iiihhh... beberapa di antara mereka emang bener-bener licik tampangnya. Di antara mereka juga ada yang bekerja sama untuk saling menghabisi lawan-lawan mereka.
Setelah acara berlangsung selama beberapa jam, rating-nya langsung naik, meskipun menimbulkan pertentangan di antara para crew sendiri. Ada yang menganggap terlalu sadis dan gak punya perasaan, tapi ada yang terus mendukung. Breckel sendiri, tidak peduli, ia berambisi mengalahkan rating penonton Superbowl.
Ternyata, si Breckel licik banget, begitu, lokasi mereka berhasil ditemukan FBI, dia pergi sendirian, mau meninggalkan para crew, dan keuntungan acara itu juga mau diambil sendiri.
Kalo, diikutin dari awal, bakal ketebak sih, siapa yang nantinya bakal jadi satu-satunya yang hidup. Dan, ending-nya, agak mengecewakan nih... Semua mati... kecuali satu narapidana dan satu crew yang baik...
10 orang narapidana yang sudah divonis mati, dikumpulkan demi acara ini. Mereka akan diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Mereka harus bertarung, dan satu-satunya yang hiduplah yang jadi pemenang. Kesepuluh orang itu, 2 di antaranya perempuan, bertampang sangar, berbadan besar, penjahat kelas berat, ada juga yang pasangan suami istri. Untuk ngurusin mereka pun, para crew tv harus keras juga menghadapi mereka. Di kaki mereka dipasang bom dan GPRS. Kunci penjinak bom itu dipegang oleh Breckel, dan jika dicabut secara paksa, maka, meledaklah bom itu.
10 orang itu diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Begitu ketemu lawan, mereka langsung bertarung. Mereka harus bertahan selama 30 jam di pulau itu. Iiihhh... beberapa di antara mereka emang bener-bener licik tampangnya. Di antara mereka juga ada yang bekerja sama untuk saling menghabisi lawan-lawan mereka.
Setelah acara berlangsung selama beberapa jam, rating-nya langsung naik, meskipun menimbulkan pertentangan di antara para crew sendiri. Ada yang menganggap terlalu sadis dan gak punya perasaan, tapi ada yang terus mendukung. Breckel sendiri, tidak peduli, ia berambisi mengalahkan rating penonton Superbowl.
Ternyata, si Breckel licik banget, begitu, lokasi mereka berhasil ditemukan FBI, dia pergi sendirian, mau meninggalkan para crew, dan keuntungan acara itu juga mau diambil sendiri.
Kalo, diikutin dari awal, bakal ketebak sih, siapa yang nantinya bakal jadi satu-satunya yang hidup. Dan, ending-nya, agak mengecewakan nih... Semua mati... kecuali satu narapidana dan satu crew yang baik...
Labels: action, The Condemned
Di sebuah sudut kota Jakarta, 20 tahun yang lalu, di saat yang hampir bersamaan, 4 orang ibu sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka. Keempat anak itu tumbuh menjadi sahabat karena memang mereka bertetangga di sebuah kampung. Sejak balita, masuk SD mereka selalu sama-sama. Mandi di kali, main layangan di atas genteng rumah.
Ketika beranjak dewasa, mereka punya cita-cita yang berbeda. Mae (Nirina Zubir), satu-satunya perempuan di antara mereka, lulus dari sekolah sekretaris, padalah cita-cita sebenarnya jadi Polwan. Bisa jadi dipengaruhi sifat tomboynya karena bergaul dengan anak laki-laki. Lalu, ada Guntoro (Desta ‘Club Eighties’), punya cita-cita jadi pelaut, tapi tidak kesampaian, terus, Beni (Ringgo Agus Rahman), si ‘boxer-wanna be’ yang malah sekolah pertanian, dan Eman (Aming) hanya bertahan satu bulan di pesantren, karena cita-cita sesungguhnya jadi politikus.
Mereka berempat berakhir jadi sekelompok anak muda yang frustasi dan jadi pengangguran. Beruntung sih, mereka anak baik-baik, kerjaan mereka paling-paling nongkron di pondok pinggir kali, main gaple dan cela-celaan.
Masalah muncul, ketika Pak Mardi (Jaja Mihardja) dan Bu Mardi (Meriam Bellina) khawatir dengan Mae. Sikap tomboy Mae memicu kekhawatiran kalo Mae gak bakal dapet jodoh. Karena mereka tau, di kampung mereka gak akan ada yang mau sama Mae yang galak, maka mereka berdua berkeliling ke kampung tetangga untuk mencari anak laki-laki sebagai jodoh potensial anak perempuan mereka satu-satunya itu.
Datanglah calon pertama, seorang guru SMP yang culun. Mae dipaksa berdandan layaknya seorang perempuan yang feminine. Tentu saja calon satu ini gak berkenan di hati Mae, dan Mae langsung member I isyarat warna merah pada Beni, yang artinya calon ini ‘ditolak’. Calon kedua juga pemuda culun, ditolak Mae. Calon-calon yang ditolak Mae diberi pelajaran oleh Beni, Guntoro dan Eman, biar mereka gak berani lagi balik ke kampun itu untuk ketemu sama Mae.
Baru, pas calon ketiga datang, seorang binaragawan bertubuh besar, yang juga ditolak Mae. Tapi, malah teman-teman Mae yang masuk rumah sakit karena dihajar binaragawan itu. Ternyata, Bobby, nama cowok itu, adalah bodyguard seorang cowok keren, anak orang kaya bernama Rendy (Richard Kevin). Rendy, yang capek pacaran dengan cewek manja, tertantang untuk mendekati Mae setelah mendengar deskripsi Bobby.
Datanglah Rendy ke kampung Mae, yang langsung disambut tatapan tak percaya dari orang tua Mae. Mae gak yang gak sempet dandan, malah langsung membuat Rendy jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gaya tomboy dan cueknya. Mae juga langsung klepek-klepek… akhirnya Mae jatuh cinta.
Tapi, semua jadi runyam, gara-gara Eman yang buta warna salah membaca isyarat dari Mae. Yang harusnya warna hijau, malah diterjemahkan warna merah oleh Eman. Langsung ketiga sahabat Mae itu menghadang Rendy ketika ia pulang dari rumah Mae. Demi solidaritas, mereka menghajar Rendy. Rendy pun ngambek.
Buntutnya, Bu Mardi stress dan masuk rumah sakit. Mae merasa bersalah,s ampai-sampai karena putus asa, ia meminta salah satu dari temannya untuk jadi pendampingnya dan mau menikahinya. Ketiga cowok itu akhirnya mengundi,s iapa yang harus jadi pendamping Mae.
Ceritanya lumayan kocak, cerita tentang persahabatan. Yang paling mengharukan, adalah pas Mae marah karena Eman salah baca tanda, dan mereka semua bilang, sebenernya apa pun warna isyarat dari Mae, mereka akan tetap bilang itu ‘merah’ karena mereka sayang sama Mae, dan gak rela Mae diambil orang lain.
Yang membuat gue rada gak sreg, sih, adegan tawuran antar kelompok kompleksnya Rendy yang anak-anak orang kaya melawan anak-anak kampung Mae. Uuhhh… sebel aja litany. Ternyata, mau anak kampung, mau anak kompleks elit, sama aja… ujung-ujungnya tawuran juga… padahal si Rendy sendiri bilang, yang pake kekerasan hanya orang-orang primitif. Tapi, kalo udah emosi… gak ada deh, yang namanya pake otak.
Untung, ending-nya adalah pas Mae mau nikah, gak berakhir kaya’ sinetron dengan adegan menangis. Meski Mae gak nikah sama cowok yang dimau, tetap aja… cekikikan…
Ketika beranjak dewasa, mereka punya cita-cita yang berbeda. Mae (Nirina Zubir), satu-satunya perempuan di antara mereka, lulus dari sekolah sekretaris, padalah cita-cita sebenarnya jadi Polwan. Bisa jadi dipengaruhi sifat tomboynya karena bergaul dengan anak laki-laki. Lalu, ada Guntoro (Desta ‘Club Eighties’), punya cita-cita jadi pelaut, tapi tidak kesampaian, terus, Beni (Ringgo Agus Rahman), si ‘boxer-wanna be’ yang malah sekolah pertanian, dan Eman (Aming) hanya bertahan satu bulan di pesantren, karena cita-cita sesungguhnya jadi politikus.
Mereka berempat berakhir jadi sekelompok anak muda yang frustasi dan jadi pengangguran. Beruntung sih, mereka anak baik-baik, kerjaan mereka paling-paling nongkron di pondok pinggir kali, main gaple dan cela-celaan.
Masalah muncul, ketika Pak Mardi (Jaja Mihardja) dan Bu Mardi (Meriam Bellina) khawatir dengan Mae. Sikap tomboy Mae memicu kekhawatiran kalo Mae gak bakal dapet jodoh. Karena mereka tau, di kampung mereka gak akan ada yang mau sama Mae yang galak, maka mereka berdua berkeliling ke kampung tetangga untuk mencari anak laki-laki sebagai jodoh potensial anak perempuan mereka satu-satunya itu.
Datanglah calon pertama, seorang guru SMP yang culun. Mae dipaksa berdandan layaknya seorang perempuan yang feminine. Tentu saja calon satu ini gak berkenan di hati Mae, dan Mae langsung member I isyarat warna merah pada Beni, yang artinya calon ini ‘ditolak’. Calon kedua juga pemuda culun, ditolak Mae. Calon-calon yang ditolak Mae diberi pelajaran oleh Beni, Guntoro dan Eman, biar mereka gak berani lagi balik ke kampun itu untuk ketemu sama Mae.
Baru, pas calon ketiga datang, seorang binaragawan bertubuh besar, yang juga ditolak Mae. Tapi, malah teman-teman Mae yang masuk rumah sakit karena dihajar binaragawan itu. Ternyata, Bobby, nama cowok itu, adalah bodyguard seorang cowok keren, anak orang kaya bernama Rendy (Richard Kevin). Rendy, yang capek pacaran dengan cewek manja, tertantang untuk mendekati Mae setelah mendengar deskripsi Bobby.
Datanglah Rendy ke kampung Mae, yang langsung disambut tatapan tak percaya dari orang tua Mae. Mae gak yang gak sempet dandan, malah langsung membuat Rendy jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gaya tomboy dan cueknya. Mae juga langsung klepek-klepek… akhirnya Mae jatuh cinta.
Tapi, semua jadi runyam, gara-gara Eman yang buta warna salah membaca isyarat dari Mae. Yang harusnya warna hijau, malah diterjemahkan warna merah oleh Eman. Langsung ketiga sahabat Mae itu menghadang Rendy ketika ia pulang dari rumah Mae. Demi solidaritas, mereka menghajar Rendy. Rendy pun ngambek.
Buntutnya, Bu Mardi stress dan masuk rumah sakit. Mae merasa bersalah,s ampai-sampai karena putus asa, ia meminta salah satu dari temannya untuk jadi pendampingnya dan mau menikahinya. Ketiga cowok itu akhirnya mengundi,s iapa yang harus jadi pendamping Mae.
Ceritanya lumayan kocak, cerita tentang persahabatan. Yang paling mengharukan, adalah pas Mae marah karena Eman salah baca tanda, dan mereka semua bilang, sebenernya apa pun warna isyarat dari Mae, mereka akan tetap bilang itu ‘merah’ karena mereka sayang sama Mae, dan gak rela Mae diambil orang lain.
Yang membuat gue rada gak sreg, sih, adegan tawuran antar kelompok kompleksnya Rendy yang anak-anak orang kaya melawan anak-anak kampung Mae. Uuhhh… sebel aja litany. Ternyata, mau anak kampung, mau anak kompleks elit, sama aja… ujung-ujungnya tawuran juga… padahal si Rendy sendiri bilang, yang pake kekerasan hanya orang-orang primitif. Tapi, kalo udah emosi… gak ada deh, yang namanya pake otak.
Untung, ending-nya adalah pas Mae mau nikah, gak berakhir kaya’ sinetron dengan adegan menangis. Meski Mae gak nikah sama cowok yang dimau, tetap aja… cekikikan…
Labels: Get Married, Indonesia
Shahnaz (Poppy Novia), berubah menjadi remaja yang cuek dan pemberontak semenjak ayahnya (Roy Marten) meninggal dunia. Ia merasa ikut ‘andil’ dalam kejadian itu. Karena di pagi hari sebelum ayahnya meninggal, Shahnaz pulang pagi setelah dugem dan berpura-pura sedang berolahraga, buntutnya ia mengajak ayahnya untuk lari pagi. Setelah acara lari pagi itu, ayahnya kena serangan jantung.
Delapan bulan sejak kejadian itu, Shahnaz dikejutkan dengan pemberitahuan ibunya (Ira Wibowo), bahwa ia akan menikah lagi dengan seorang laki-laki bernama Thomas (Zaldi Nurzaman) yang selama ini dikenal sebagai teman ibunya.
Karena marah, Shahnaz nekat kabur dari rumah. Tujuannya menyusul pacarnya, Mika (Marcell Anthony) yang sedang mendaki gunung Merapi. Sesampainya di Yogyakarta, Shahnaz tidak bisa menghubungi Mika. Uang tinggal sedikit, tidak cukup untuk menyewa kamar yang murah sekali pun. Akhirnya, Shahnaz berkeliling-keliling tanpa tujuan.
Shahnaz pun ‘terdampar’ di sebuah daerah lokalisasi di Yogyakarta. Tiba-tiba ada preman yang mengganggunya, Shahnaz pun lari dan ia ditolong oleh seorang PSK bernama Ningsih (Dina Olivia). Ningsih kasihan pada Shahnaz dan mengajaknya untuk tinggal bersama di rumah kost-nya. Kepada induk semang dan para tetangga sekitar, Ningsih mengaku bekerja sebagai dosen kelas malam.
Shahnaz juga berkenalan dengan seorang pengamen bernama Parno (Dwi Sasono), pemuda polos yang pernah menjadi kekasih Ningsih selama ‘4 jam’! Parno mengajak Shahnaz berkeliling Yogyakarta. Mulai dari jalan-jalan keliling naik sepeda sampai menonton balap siput.
Lama-lama, kesederhanaan Parno membuat Shahnaz jatuh cinta. Parno juga ternyata menyukai Shahnaz dan mengajak Shahnaz ‘kencan’. Sepulangnya dari jalan-jalan, ternyata Mika sudah menunggu Shahnaz dan mengajaknya pulang. Pengakuan Shahnaz tentang siapa Parno kepada Mika membuat Parno kecewa.
Masalah lain, adalah Ningsih dan Parno yang ternyata masih saling menyukai, tapi gengsi.
Film ini bergenre ‘comedy-romantic’, tapi, kita gak bakal diajak ketawa ngakak, sedikit senyum-senyum aja. Filmnya sederhana. Yang agak berlebihan, waktu Ningsih diusir dari rumah kost-nya, seluruh tetangga mukulin Ningsih dan Shanaz, main hakim sendiri. Yang paling ‘manis’ di akhir cerita. Yang pasti, film ini mengingatkan gue waktu honeymoon di Yogya bulan November 2006. Gue dan suami ketawa-tawa ngeliat KFC di Malioboro, tempat kita makan, gak jadi lesehan gara-gara hujan, tampak sekilas di film ini.
Delapan bulan sejak kejadian itu, Shahnaz dikejutkan dengan pemberitahuan ibunya (Ira Wibowo), bahwa ia akan menikah lagi dengan seorang laki-laki bernama Thomas (Zaldi Nurzaman) yang selama ini dikenal sebagai teman ibunya.
Karena marah, Shahnaz nekat kabur dari rumah. Tujuannya menyusul pacarnya, Mika (Marcell Anthony) yang sedang mendaki gunung Merapi. Sesampainya di Yogyakarta, Shahnaz tidak bisa menghubungi Mika. Uang tinggal sedikit, tidak cukup untuk menyewa kamar yang murah sekali pun. Akhirnya, Shahnaz berkeliling-keliling tanpa tujuan.
Shahnaz pun ‘terdampar’ di sebuah daerah lokalisasi di Yogyakarta. Tiba-tiba ada preman yang mengganggunya, Shahnaz pun lari dan ia ditolong oleh seorang PSK bernama Ningsih (Dina Olivia). Ningsih kasihan pada Shahnaz dan mengajaknya untuk tinggal bersama di rumah kost-nya. Kepada induk semang dan para tetangga sekitar, Ningsih mengaku bekerja sebagai dosen kelas malam.
Shahnaz juga berkenalan dengan seorang pengamen bernama Parno (Dwi Sasono), pemuda polos yang pernah menjadi kekasih Ningsih selama ‘4 jam’! Parno mengajak Shahnaz berkeliling Yogyakarta. Mulai dari jalan-jalan keliling naik sepeda sampai menonton balap siput.
Lama-lama, kesederhanaan Parno membuat Shahnaz jatuh cinta. Parno juga ternyata menyukai Shahnaz dan mengajak Shahnaz ‘kencan’. Sepulangnya dari jalan-jalan, ternyata Mika sudah menunggu Shahnaz dan mengajaknya pulang. Pengakuan Shahnaz tentang siapa Parno kepada Mika membuat Parno kecewa.
Masalah lain, adalah Ningsih dan Parno yang ternyata masih saling menyukai, tapi gengsi.
Film ini bergenre ‘comedy-romantic’, tapi, kita gak bakal diajak ketawa ngakak, sedikit senyum-senyum aja. Filmnya sederhana. Yang agak berlebihan, waktu Ningsih diusir dari rumah kost-nya, seluruh tetangga mukulin Ningsih dan Shanaz, main hakim sendiri. Yang paling ‘manis’ di akhir cerita. Yang pasti, film ini mengingatkan gue waktu honeymoon di Yogya bulan November 2006. Gue dan suami ketawa-tawa ngeliat KFC di Malioboro, tempat kita makan, gak jadi lesehan gara-gara hujan, tampak sekilas di film ini.
Labels: Indonesia, Mengejar Mas-Mas
Subscribe to:
Posts (Atom)