Untung ada kawanan lumba-lumba yang berbaik hati mengantar Pi ke tempat Aunt Pearl (Fran Drescher) ke sebuah tempat yang indah, penuh dengan batu-batu coral yang cantik. Perjalanan ternyata cukup jauh, soalnya, Pi memulai perjalanan ketika ia masih seekor ikan kecil, sampai akhirnya ia jadi ikan ‘remaja’.
Sesampainya di sana, Pi langsung jatuh cinta pada seekor ikan cantik berwarna pink yang bernama Cordelia (Evan Rachel Wood). Cordelia bagaikan kembang di tengah-tengah para ikan. Tapi, sayang, saingan Pi sangat berat, yaitu seekor ikan hiu yang sombong, Troy (Donal Logue). Troy gemar mengintimidasi ikan-ikan yang lebih kecil dari dirinya, termasuk Pi.
Jiwa ‘kelaki-lakian’nya Pi langsung muncul begitu melihat Cordelia diganggu Troy, berusaha melindungi Cordelia. Tapi, ternyata Troy bukan tandingan bagi Pi. Dengan mudah, Pi dikalahkan Troy yang dibantu dua kaki tangannya.
Di bawah laut itu, ada sebuah daerah yang sangat dilarang untuk dikunjungi, yaitu sebuah bangkai kapal bajak laut yang konon kabarnya berhantu dan dijaga oleh kura-kura aneh dan penyendiri bernama Nerissa (Rob Schneider). Tidak ada ikan yang berani mendekati kapal itu. Tapi, Pi, bukanlah ikan yang penakut. Bersama Dylan (Andy Dick), sepupunya . Pi menjelajah kapal itu dan bertemu dengan Nerissa.
Ada kepercayaan di kalangan para ikan, jika ikan betina menerima sebuah mutiara yang indah dari ikan jantan, itu artinya mereka sudah menyerahkan diri mereka dan menerima si ikan jantan. Cordelia, mengorbankan dirinya untuk menerima mutiara dari Troy, dengan syarat Troy tidak boleh lagi menyakiti Pi dan juga kawanan ikan lain di perairan itu.
Mutiara paling indah dimiliki oleh Nerissa. Dulu mutiara itu diberikan Nerissa kepada istrinya. Tidak mudah untuk merebut mutiara itu, karena Nerissa juga bukan sembarang kura-kura. Pi yang tentunya gak rela kalo Cordelia jadi milik Troy, membujuk Nerissa untuk mengajarkannya tehnik-tehnik mengalahkan Troy.
Film yang juga berjudul ‘Shark Bait’ ini, mengingatkan gue sama film Shark Tale. Katanya sih, juga pengen mengulang sukses film-film ‘bawah laut’ kaya’ Finding Nemo. Tapi, sayang, film ini gak istimewa. Gambar-gambar batu karang yang berwarna-warni tampak gak terlalu cerah. Menurut Uncle Wikie, film ini gak sukses. Entah karena gak didukung sama pemain-pemain yang top, atau karena gambar yang biasa aja, yang bahkan katanya, logonya pun emang meniru Shark Tale.
Satu-satunya tokoh yang 'mencuri' perhatian gue adalah Aunt Pearl yang genit tapi wise itu. Yang lain, biasa aja lah...
Labels: The Reef
Jojo adalah gambaran pemuda yang selalu gagal dalam berbagai pekerjaan. Diawali sebagai tukang pel di sebuah supermarket, lalu, sebagai tukang tattoo dan terakhir sebagai tukang tambal ban. Dia beranggapan semua kesuksesan itu harus dimulai dari nol, rasa percaya diri yang tinggi membuat Jojo bisa bertahan dengan kegagalan yang terus mengikutinya.
Sampai akhirnya, seorang om-om yang kemayu bernama Mudakhir (Tino Saroengallo), yang disebut sebagai ‘Pemburu’ datang ke Jojo menawarkan sebuah pekerjaan yang akan membuat kegagalan Jojo berakhir dan bisa mendapatkan uang banyak. Jojo sempat tidak tertarik, bahkan curiga dengan si Om, tapi, bujuk rayu si Om dan keinginan untuk berubah membuat Jojo pun ikut ke tempat Om Mudakhir.
Jojo dibawa ke sebuah restoran pizza bernama Quickie Express. Tapi anehnya, si pelayan yang sebagian besar cowok memakai seragam celana super pendek dan ketat, dan pengunjungnya adalah perempuan-perempuan yang genit. Jojo semakin heran ketika dibawa ke ruang bawah tanah, yang katanya Om Mudakhir adalah bekas bunker. Di sana Jojo melihat semakin banyak cowok-cowok bercelana ketat yang mondar-mandir.
Akhirnya, Om Mudakhir pun bilang kalo tempat itu adalah Gigolo Training Centre. Karuan aja Jojo menolak mentah-mentah ajakan Om Mudakhir. Tapi, setelah diuji lewat test, akhirnya memang profesi yang cocok buat Jojo adalah sebagai Gigolo.
Mulailah hari-hari Jojo di-training untuk menjadi ‘gigolo’ yang baik dan benar. Teman-teman ‘satu angkatannya’ adalah Marley (Amink), seorang ‘pemuja’ Bob Marley dan Piktor (Lukman Sardi), cowok yang gagal jadi penyiar. Mereka bertiga diajar cara menari, table manner sampai menguji keakuratan G-Spot! Setelah lulus, barulah mereka ‘diterjunkan’ ke dunia gigolo sebenarnya.
Akhirrnya mereka pun jadi Gigolo yang ‘sukses’. Mereka bertiga diberi rumah yang besar oleh Om Mudakhir dan level mereka pun naik sebagai ‘male escort’ bagi ibu-ibu kalangan pejabat dan beredar di klub-klub eksekutif. Mereka gak perlu lagi pakai seragam celana ketat itu, malah mereka diberi baju baru.
Di sinilah, porsi Tora Sudiro mulai mendominasi jalan cerita. Karena, ketika mulai menjadi male escort buat ibu-ibu pejabat, Marley dan Piktor jarang muncul. Jojo ‘di-booking’ oleh seorang tante bernama Mona (Ira Maya Sopha), yang sesudah ‘kencan’ pertama langsung meminta Jojo ‘ekslusif’ hanya melayani dia.
Tak disangka-sangka, inilah awal keribetan semua masalah Jojo. Jojo juga lagi jatuh cinta dengan seorang calon dokter yang berwajah lembut dan alim (tapi doyan dugem), bernama Lila (Sandra Dewi), yang ternyata anak seorang pengusaha yang dicurigai sering melakukan praktek-praktek kotor bernama Jan Pietersen (Rudy Wowor).
Gara-gara ini, Jojo harus membuat pilihan apa ia harus berterus terang sama Lila tentang profesi sebenarnya, atau terus menjalani ‘hubungan ganda’ dengan Tante Mona? Belum lagi, Jojo harus berurusan dengan tangan kanan Jan, pria Ambon bertampang sangar bernama Mateo (Tio Pakusadewo).
Koq gue rada gak sreg ya, dengan si Tora Sudiro, rasanya udah ketuaan banget untuk jadi cowok berusia 27 tahun? Tapi, secara keseluruhan, film-nya ok, kocak. Amink masih tetap dengan logat sunda-nya, lalu Tora dengan gaya sok cool-nya, terus Lukma Sardi yang tampil rada gemuk di film ini. Gue gak nyangka kalo si Mateo itu adalah Tio Pakusadewo… gak keliatan sih… Tapi, gue suka banget waktu Jan Pietersen dateng ke rumah Jojo.. dan waktu Mateo marah-marah ke Jan Pietersen… Hahaha.. sebuah bagian cerita yang gak disangka-sangka. Tapi, gue bisa menebak, apa hubungan Tante Mona dengan Lila. Sandra Dewi juga ok (koq mirip Dian Sastro ya?). Dan satu lagi yang ‘heboh’ adalah Ira Maya Sopha yang jadi tante-tante cool tapi genit.
Ada cameo-cameo bertebaran di film ini, misalnya Ria Irawan, Imelda Therine, Nia DiNata sendiri dan di akhir film ada Ruben.
Film ini bener-bener film komedi untuk orang dewasa, yang dari awal sampai akhir berhasil bikin satu bioskop yang full itu ketawa.
Labels: comedy, Indonesia, Quickie Express
Di desa itu, Dunstan terpikat pada seorang gadis cantik yang dijadikan budak oleh salah satu pedagang. Katanya, ia adalah putri raja yang dikutuk jadi budak. Sembilan bulan setelah pertemuan singkat itu, Dunstan menerima kiriman sebuah keranjang yang berisi bayi yang sudah diberi nama ‘Tristan’.
Tristan (Charlie Cox) tumbuh jadi pemuda tampan, tapi agak pemalu, bekerja di sebuah toko kelontong, hanya tinggal berdua dengan ayahnya . Ia menyukai seorang gadis bernama Victoria (Sienna Miller). Tapi, sayang, saingan Tristan adalah seorang pemuda kaya raya, Humphrey (Henry Cavill), yang kerap mengejek dan merendahkan Tristan.
Nun jauh dari Desa Wall, di sebuah kerajaan bernama Stormhold, sang Raja (Peter O’Toole) sedang sekarat. Ia memanggil 4 anak laki-lakinya yang masih hidup, dan menguji mereka siapakah yang pantas menjadi raja setelah ia mangkat. Tapi, ke-empat anak laki-lakinya itu sama licik dengan sang ayah, yang tidak segan-segan membunuh saudaranya sendiri demi mendapatkan mahkota raja.
Dari empat yang tersisa tinggal 2, yaitu Septimus dan Primus, dan satu orang anak perempuan yang tidak diketahui keberadaannya bernama, Una. Sang ayah melemparkan kalung bermata merah delima, dan keturunan raja yang bisa menangkap kalung itulah yang berhak menggantikannya.
Kalung bermata merah delima itu jatuh di sebuah tempat, dan menjadi sebuah ‘bintang jatuh’. Banyak yang memburu bintang jatuh ini, selain tentu saja Septimus dan Primus. Tristan Thorn pun berjanji pada Victoria untuk menjadikan bintang jatuh itu sebagai hadiah ulang tahun, sebagai bukti cintanya pada Victoria. Lalu, ada penyihir bernama Lamia (Michelle Pfeiffer), yang berniat mengambil hati bintang jatuh itu agar bisa kembali muda dan cantik.
Memang Tristan-lah yang pertama kali bertemu si bintang jatuh, Yvaine (Claire Danes), tapi mereka tidak tahu bahwa banyak orang lain yang mengincar Yvaine.
Tristan hanya mempunyai waktu satu minggu untuk membawa Yvaine sebagai hadiah bagi Victoria. Dan, mereka berdua harus menghindari diri mereka dari kejaran si penyihir jahat Lamia yang setiap ia menggunakan sihirnya, semakin berkurang pula kemudaannya.
Paling asyik ngeliat kalo Yvaine di malam hari, seluruh tubuhnya memancarkan sinar dan bikin jadi kelihatan anggun dan cantik. ‘Perburuan’ Yvaine yang ditampilkan dalam suasana rada gelap menjadikan ketegangan sendiri dalam film ini. Tapi, ada juga bagian-bagian yang kocak. Misalnya, pertemuan Tristan dan Yvaine dengan kapten Shakespeare (Robert de Niro), bajak ‘udara’ penangkap kilat yang di luar kelihatan garang, tapi ternyata lembut’ banget. Atau, hantu-hantu anak-anak raja Stormhold yang masih terus gentayangan sampai raja yang baru ditemukan.
Udah pernah baca bukunya, tapi karena udah lama, jadi agak-agak lupa gimana alur ceritanya. Gue hanya inget bagian Dunstan yang ngelewatin tembok, tapi lupa tuh kalo ada anak-anak Raja Stormhold. It’s a nice movie anyway. Genre fantasi, komedi tapi romantis…
One day, dalam tugasnya, terjadi kecelakaan. Chuck hampir saja tertimpa reruntuhan bangunan, dan Larry-lah yang menyelamatkan nyawa Chuck meskipun harus menderita patah tulang juga. Chuck bilang, dia mau melakukan apa pun untuk membalas budi Larry.
Dan ketika itu, Larry sedang dalam keadaan gundah, takut akan terjadi apa-apa terhadap dirinya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Soalnya, ketika Larry berusaha mengurus uang pensiunnya yang kebetulan sebelumnya diwariskan kepada istrinya. Hanya ada 3 cara untuk mengalihkan dana itu ke ahli waris lain, yaitu menikah lagi, meninggal atau menunggu sampai anak-anaknya berusia 18 tahun. Larry takut, kalau dia menikah lagi, warisan itu malah jatuh ke tangan yang salah.
Tiba-tiba, Larry melihat tentang artikel pasangan gay di sebuah majalah, istilahnya 'domestic partner'. Muncullah ide untuk menagih janji Chuck, dengan mengajaknya menjadi domestic partner itu. Tentu saja, awalnya ide ini ditolak mentah-mentah oleh Chuck, apalagi Chuck adalah lelaki sejati, pengagum dan pemuja wanita. Tapi, akhirnya, mereka berangkat juga ke Las Vegas untuk menikah. Ini juga atas usul konsultan mereka, Alex (Jessica Biel). Karena kata Alex, jika hanya hidup bersama dalam satu rumah saja, bisa-bisa mereka dianggap tidak serius, karena akan ada petugas-petugas dari pengadilan yang memeriksa dan menyelidiki kehidupan pribadi mereka.
Pro dan kontra mulai bermunculan ketika mereka diketahui sudah menikah dan dianggap sebagai pasangan gay. Mulai dari teman-teman sesama petugas pemadam kebakaran yang enggan bermain basket bersama Chuck & Larry, lalu, Larry yang ditolak di berbagai kegiatan di sekolah anaknya, lalu Chuck yang harus menyembunyikan perasaannya terhadap Alex. Belum lagi mereka berdua mulai diundang ke pesta-pesta para kaum gay dan lesbian, dan beberapa teman yang mulai berani mengaku bahwa ia gay karena terinspirasi oleh Chuck dan Larry.
Filmnya kocak banget dan gak garing. Setiap adegan pasti ada humor yang bikin ketawa. Adegan paling mengharukan waktu anak-anak Larry menjenguk Larry di rumah sakit, dan mereka berpelukan karena anak-anaknya Larry inget kalau itu rumah sakit yang sama tempat ibu mereka meninggal. Dan yang paling kocak, waktu salah seorang teman di pemadam kebakaran, Fred G. Duncan (Ving Rhames), yang selama ini dikenal sebagai ex-murderer dan bertampang sangar banget, ngaku dia juga gay dan meluk Chuck dengan penuh perasaan di lapangan basket. O ya, gak ketinggalan 'pendeta' Jepang yang mungil di kapel tempat Chuck & Larry menikah.
Labels: comedy
Suatu hari, berencana berakhir pekan di sebuah pondok atas undangan Karl, dan Abby pergi bersama Diane, kakaknya, untuk merayakan ulang tahunnya. Sophie pun dititipkan pada pengasuh anak-anak di rumah. Meskipun agak tidak tenang, Abby dan Neil tetap pergi. Rencananya Neil akan mengantar Abby dulu sebelum ia sendiri pergi.
Semua berlangsung dengan tenang, sampai tiba-tiba seorang laki-laki muncul di kursi belakang mobil mereka dan menodongkan pistol. Laki-laki itu bernama Tom Ryan (Pierce Brosnan) bilang kalo ia bersekongkol dengan pengasuh anak-anak yang disewa Abby dan Neil untuk menculik Sophie.
Sebenarnya, Tom tidak punya kepentingan apa-apa dalam atas apa pun yang terjadi dengan Keluarga Randall. Ia hanya ingin mengetes, seberapa jauh mereka mau melakukan apapun demi menyelamatkan nyawa Sophie.
Mulailah serangkaian tugas dan permintaan aneh dari Tom yang mau tidak mau harus dituruti oleh Abby dan Randall. Mulai dari mencairkan semua dana di bank lalu menyaksikan uang mereka dibakar oleh Tom dengan seenaknya, lalu terpaksa menjual gelang dan jam tangan mahal mereka untuk membayar tagihan makan dan minum Tom di restoran mahal (karena uang dan kartu kredit mereka diambil sama Tom), sampai akhirnya Tom meminta Neil untuk menembak Karl, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak ada kaitan dengan Tom. Tapi, ya, itu tujuannya, seberapa jauh sih mereka mau melakukan semua untuk keselamatan putrinya?
Semua permintaan Tom membuat emosi Abby dan Neil terkuras. Sisi psikologis mereka dipermainkan. Bikin frustasi, karena mereka sama sekali gak tau, apa sih sebenarnya tujuan si Tom itu? Rasa tertekan malah kadang membuat mereka berdua jadi bertengkar.
Gue suka sih film ini, thriller bercampur drama. Bikin yang nonton juga emosi...
Labels: Butterfly on A Wheel, drama, thriller
Tapi, keberadaan mereka berempat, dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi ketua murid, Meredith (Chelsea Staub), yang pengen selalu jadi pusat perhatian. Meredith khawatir, kalau mereka berempat akan mencuri perhatian murid-murid lain dari dirinya. Dengan segala cara, Meredith berusaha memisahkan mereka, dengan membuat aturan, kalau semua harus berpencar, gak boleh ada kelompok-kelompok, padahal sih, si Meredith sendiri selalu dikelilingi ‘dayang-dayang’nya. Meredith berkuasa penuh atas semua peraturan di sekolah itu. Meskipun, ayahnya kepala sekolah di sana, tapi, tetap Meredith yang memegang kontrol di sekolah itu.
Usaha Meredith untuk memisahkan Sasha, Jade, Cloe dan Yasmin ternyata berhasil. Sasha segera ngumpul bareng kelompok cheerleader, Jade bareng kelompok sains-nya, dan Cloe sama tim sepakbola perempuan. Tinggal, Yasmin yang pemalu jadi sendirian. Sebenernya, Yasmin pengen bergabung sama kelompok paduan suara, karena dia punya suara yang bagus, tapi, sifat pemalunya mengalahkan keinginan itu. Akhirnya, semua sibuk dengan kelompoknya masing-masing dan membuat mereka jalan sendiri-sendiri.
Kejadian itu berlangsung selama dua tahun. Persahabatan mereka ‘putus’ dan semuanya jadi acuh tak acuh. Tapi, suatu kejadian membuat mereka ‘dihukum’ bareng (hukuman atas perintah Meredith), yang cemburu karena Cloe mendekati salah satu cowok di kelompoknya. Tapi, ternyata, kejadian itu malah bikin mereka dekat lagi. Meredith gak rela. Dia mulai merencanakan hal lain untuk mempermalukan mereka dan kembali membuat mereka terpisah.
Ihhhh.. gregetan banget ngeliat si Meredith. Centil… selalu bersikap manis, tapi, licik. Selalu mau jadi pusat perhatian, meskipun harus mempermalukan orang. Pokoknya harus selalu jadi nomer satu. Acara ‘talent show’ di sekolah, dikontrol sama Meredith, semua yang lolos audisi yang jelek-jelek, supaya dia sendiri bisa menang.
Awalnya, ngeliat the Brazt, kirain semua anak-anak orang kaya yang hanya mentingin fashion. Tapi, ternyata nggak tuh. Cloe misalnya, ternyata anak seorang pelayan yang bekerja di rumah Meredith, Jade yang meskipun gaul, tapi pinter di kimia dan matematika, Sasha anak dari orang tua yang bercerai dan Yasmin punya adik yang sok keren banget.
Film Bratz ini diangkat dari karakter di TV series, ada bonekanya juga.
Lumayan buat hiburan.
10 orang narapidana yang sudah divonis mati, dikumpulkan demi acara ini. Mereka akan diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Mereka harus bertarung, dan satu-satunya yang hiduplah yang jadi pemenang. Kesepuluh orang itu, 2 di antaranya perempuan, bertampang sangar, berbadan besar, penjahat kelas berat, ada juga yang pasangan suami istri. Untuk ngurusin mereka pun, para crew tv harus keras juga menghadapi mereka. Di kaki mereka dipasang bom dan GPRS. Kunci penjinak bom itu dipegang oleh Breckel, dan jika dicabut secara paksa, maka, meledaklah bom itu.
10 orang itu diterjunkan di sebuah pulau terpencil. Begitu ketemu lawan, mereka langsung bertarung. Mereka harus bertahan selama 30 jam di pulau itu. Iiihhh... beberapa di antara mereka emang bener-bener licik tampangnya. Di antara mereka juga ada yang bekerja sama untuk saling menghabisi lawan-lawan mereka.
Setelah acara berlangsung selama beberapa jam, rating-nya langsung naik, meskipun menimbulkan pertentangan di antara para crew sendiri. Ada yang menganggap terlalu sadis dan gak punya perasaan, tapi ada yang terus mendukung. Breckel sendiri, tidak peduli, ia berambisi mengalahkan rating penonton Superbowl.
Ternyata, si Breckel licik banget, begitu, lokasi mereka berhasil ditemukan FBI, dia pergi sendirian, mau meninggalkan para crew, dan keuntungan acara itu juga mau diambil sendiri.
Kalo, diikutin dari awal, bakal ketebak sih, siapa yang nantinya bakal jadi satu-satunya yang hidup. Dan, ending-nya, agak mengecewakan nih... Semua mati... kecuali satu narapidana dan satu crew yang baik...
Labels: action, The Condemned
Ketika beranjak dewasa, mereka punya cita-cita yang berbeda. Mae (Nirina Zubir), satu-satunya perempuan di antara mereka, lulus dari sekolah sekretaris, padalah cita-cita sebenarnya jadi Polwan. Bisa jadi dipengaruhi sifat tomboynya karena bergaul dengan anak laki-laki. Lalu, ada Guntoro (Desta ‘Club Eighties’), punya cita-cita jadi pelaut, tapi tidak kesampaian, terus, Beni (Ringgo Agus Rahman), si ‘boxer-wanna be’ yang malah sekolah pertanian, dan Eman (Aming) hanya bertahan satu bulan di pesantren, karena cita-cita sesungguhnya jadi politikus.
Mereka berempat berakhir jadi sekelompok anak muda yang frustasi dan jadi pengangguran. Beruntung sih, mereka anak baik-baik, kerjaan mereka paling-paling nongkron di pondok pinggir kali, main gaple dan cela-celaan.
Masalah muncul, ketika Pak Mardi (Jaja Mihardja) dan Bu Mardi (Meriam Bellina) khawatir dengan Mae. Sikap tomboy Mae memicu kekhawatiran kalo Mae gak bakal dapet jodoh. Karena mereka tau, di kampung mereka gak akan ada yang mau sama Mae yang galak, maka mereka berdua berkeliling ke kampung tetangga untuk mencari anak laki-laki sebagai jodoh potensial anak perempuan mereka satu-satunya itu.
Datanglah calon pertama, seorang guru SMP yang culun. Mae dipaksa berdandan layaknya seorang perempuan yang feminine. Tentu saja calon satu ini gak berkenan di hati Mae, dan Mae langsung member I isyarat warna merah pada Beni, yang artinya calon ini ‘ditolak’. Calon kedua juga pemuda culun, ditolak Mae. Calon-calon yang ditolak Mae diberi pelajaran oleh Beni, Guntoro dan Eman, biar mereka gak berani lagi balik ke kampun itu untuk ketemu sama Mae.
Baru, pas calon ketiga datang, seorang binaragawan bertubuh besar, yang juga ditolak Mae. Tapi, malah teman-teman Mae yang masuk rumah sakit karena dihajar binaragawan itu. Ternyata, Bobby, nama cowok itu, adalah bodyguard seorang cowok keren, anak orang kaya bernama Rendy (Richard Kevin). Rendy, yang capek pacaran dengan cewek manja, tertantang untuk mendekati Mae setelah mendengar deskripsi Bobby.
Datanglah Rendy ke kampung Mae, yang langsung disambut tatapan tak percaya dari orang tua Mae. Mae gak yang gak sempet dandan, malah langsung membuat Rendy jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gaya tomboy dan cueknya. Mae juga langsung klepek-klepek… akhirnya Mae jatuh cinta.
Tapi, semua jadi runyam, gara-gara Eman yang buta warna salah membaca isyarat dari Mae. Yang harusnya warna hijau, malah diterjemahkan warna merah oleh Eman. Langsung ketiga sahabat Mae itu menghadang Rendy ketika ia pulang dari rumah Mae. Demi solidaritas, mereka menghajar Rendy. Rendy pun ngambek.
Buntutnya, Bu Mardi stress dan masuk rumah sakit. Mae merasa bersalah,s ampai-sampai karena putus asa, ia meminta salah satu dari temannya untuk jadi pendampingnya dan mau menikahinya. Ketiga cowok itu akhirnya mengundi,s iapa yang harus jadi pendamping Mae.
Ceritanya lumayan kocak, cerita tentang persahabatan. Yang paling mengharukan, adalah pas Mae marah karena Eman salah baca tanda, dan mereka semua bilang, sebenernya apa pun warna isyarat dari Mae, mereka akan tetap bilang itu ‘merah’ karena mereka sayang sama Mae, dan gak rela Mae diambil orang lain.
Yang membuat gue rada gak sreg, sih, adegan tawuran antar kelompok kompleksnya Rendy yang anak-anak orang kaya melawan anak-anak kampung Mae. Uuhhh… sebel aja litany. Ternyata, mau anak kampung, mau anak kompleks elit, sama aja… ujung-ujungnya tawuran juga… padahal si Rendy sendiri bilang, yang pake kekerasan hanya orang-orang primitif. Tapi, kalo udah emosi… gak ada deh, yang namanya pake otak.
Untung, ending-nya adalah pas Mae mau nikah, gak berakhir kaya’ sinetron dengan adegan menangis. Meski Mae gak nikah sama cowok yang dimau, tetap aja… cekikikan…
Labels: Get Married, Indonesia
Delapan bulan sejak kejadian itu, Shahnaz dikejutkan dengan pemberitahuan ibunya (Ira Wibowo), bahwa ia akan menikah lagi dengan seorang laki-laki bernama Thomas (Zaldi Nurzaman) yang selama ini dikenal sebagai teman ibunya.
Karena marah, Shahnaz nekat kabur dari rumah. Tujuannya menyusul pacarnya, Mika (Marcell Anthony) yang sedang mendaki gunung Merapi. Sesampainya di Yogyakarta, Shahnaz tidak bisa menghubungi Mika. Uang tinggal sedikit, tidak cukup untuk menyewa kamar yang murah sekali pun. Akhirnya, Shahnaz berkeliling-keliling tanpa tujuan.
Shahnaz pun ‘terdampar’ di sebuah daerah lokalisasi di Yogyakarta. Tiba-tiba ada preman yang mengganggunya, Shahnaz pun lari dan ia ditolong oleh seorang PSK bernama Ningsih (Dina Olivia). Ningsih kasihan pada Shahnaz dan mengajaknya untuk tinggal bersama di rumah kost-nya. Kepada induk semang dan para tetangga sekitar, Ningsih mengaku bekerja sebagai dosen kelas malam.
Shahnaz juga berkenalan dengan seorang pengamen bernama Parno (Dwi Sasono), pemuda polos yang pernah menjadi kekasih Ningsih selama ‘4 jam’! Parno mengajak Shahnaz berkeliling Yogyakarta. Mulai dari jalan-jalan keliling naik sepeda sampai menonton balap siput.
Lama-lama, kesederhanaan Parno membuat Shahnaz jatuh cinta. Parno juga ternyata menyukai Shahnaz dan mengajak Shahnaz ‘kencan’. Sepulangnya dari jalan-jalan, ternyata Mika sudah menunggu Shahnaz dan mengajaknya pulang. Pengakuan Shahnaz tentang siapa Parno kepada Mika membuat Parno kecewa.
Masalah lain, adalah Ningsih dan Parno yang ternyata masih saling menyukai, tapi gengsi.
Film ini bergenre ‘comedy-romantic’, tapi, kita gak bakal diajak ketawa ngakak, sedikit senyum-senyum aja. Filmnya sederhana. Yang agak berlebihan, waktu Ningsih diusir dari rumah kost-nya, seluruh tetangga mukulin Ningsih dan Shanaz, main hakim sendiri. Yang paling ‘manis’ di akhir cerita. Yang pasti, film ini mengingatkan gue waktu honeymoon di Yogya bulan November 2006. Gue dan suami ketawa-tawa ngeliat KFC di Malioboro, tempat kita makan, gak jadi lesehan gara-gara hujan, tampak sekilas di film ini.
Labels: Indonesia, Mengejar Mas-Mas
Director: Richard Lagravenese
Writer: Richard Lagravenese
KELAS 203
Erin Gruwell (Hilary Swank) tidak menyadari apa yang akan dihadapinya saat diterima menjadi guru di Wilson High School. Sebagai seorang fresh graduate, Erin mendapatkan tugas mengajar pertama di Room 203, yang berisi siswa yang sudah “tersingkirkan” dari sistem pendidikan dan dianggap “tidak bisa dididik lagi”. Para remaja yang menjadi murid Erin berasal dari berbagai macam latar belakang rasial, dan mereka semua rentan terhadap kekerasan jalanan dan narkoba.
Sebagai seorang guru muda (23 tahun) yang masih penuh idealisme, Erin berusaha sebisa mungkin untuk menjalankan tugasnya. Dengan berbagai cara, dia mencoba menarik perhatian para siswanya. Cara belajar yang menyenangkan diterapkannya di kelas. Misalnya, untuk mempelajari puisi, dia menggunakan lirik lagu rap. Dia juga memberikan banyak permainan untuk dilakukan di kelas. Perlahan-lahan, saking terobsesinya Erin untuk memajukan pendidikan muridnya, tanpa sadar waktu pribadinya tersita. Untuk membelikan muridnya buku bacaan yang bermutu—karena sekolah tidak bersedia menyediakan buku untuk mereka—dia bersedia mengambil pekerjaan paruh waktu di dua tempat.
Lambat laun, pernikahannya pun menjadi korban, karena suaminya (Patrick Dempsey) tidak tahan ditinggalkan oleh istrinya bekerja mati-matian sepanjang hari. Tapi, Erin tidak menyerah. Terinspirasi pada buku harian Anne Frank, dia menghadiahkan jurnal untuk para muridnya. Dia menugasi mereka untuk menuliskan apa pun yang ingin mereka tulis di dalam jurnal itu. Ternyata, tugas itu betul-betul menginspirasi para muridnya. Dengan jurnal itu, mereka menjadi semakin terbuka, semakin bisa menerima keberadaan teman-teman mereka yang berasal dari berbagai latar belakang, dan Room 203 pun menjadi seakrab sebuah keluarga bahagia. Jurnal itulah yang kemudian dinamakan “The Freedom Writers Diary”.
Sebagai sebuah kisah nyata, film ini sangat menggugah perasaan. Erin Gruwell sendiri hingga sekarang masih menjadi motor dalam Freedom Writers Foundation, sebuah organisasi yang menggalakkan metoda mengajar alternatif.
NONTON BARENG
Freedom Writers ini menjadi film pertama yang dipilih dalam program nonton bareng Keluarga Kutu Buku Gila (yang anggotanya adalah para penjaga loket bioskop norak ini, ditambah para figuran, dan sebagian pemilik bioskop tetangga). Tentu saja yang dimaksud nonton bareng ini bukan duduk bersama dan nonton bersama, tetapi nonton di rumah masing-masing, dan waktunya pun nggak bersamaan, hahahaa. Pokoknya intinya menonton film yang sama, begitu. Alasan kenapa film ini dipilih, tentu saja karena film ini berhubungan dengan buku. Karena kami kan kutu buku yang berdedikasi, gitu lhuwoh (yah, meskipun gila).
Berbagai pendapat tentang film ini pun bermunculan. Ada yang sangat menyukainya, ada yang biasa saja. Memang menyentuh melihat perjuangan Erin Gruwell, tapi kadang-kadang menyebalkan juga melihat kekeraskepalaannya (sampai suaminya kabur begitu), tapi mungkin memang keras kepala merupakan salah satu syarat kesuksesan, ya? Ada yang terharu saat menontonnya, ada yang bosan karena film ini rasanya nggak original (yah, dari segi cerita, silakan dibandingkan dengan Dangerous Minds, Sister Act, atau The Chorus).
Yang jelas, percaya atau tidak, melihat para siswa Erin yang rajin menulis terasa bagaikan lecutan cambuk bagi kami para blogger yang terkadang malas meng-update blog ini, hahaha. Baiklah, silakan saksikan film ini! Atau, buat yang sudah nonton, bagikan pengalaman nontonnya kepada kami. Sudah saatnya para Kutu Buku Gila memikirkan film selanjutnya untuk ditonton bareng. (Hmm, tapi mungkin nanti gantian ya, yang bagian nulis reviewnya, hehehehee ….)
-Loket 1-
Film ini ditayangkan secara serentak di semua Loket Bioskop Norak.
Labels: 'Nonton Bareng' Project, Freedom Writers
Do not trust anyone. Do not show emotion. Do not fall asleep.
Sebuah pesawat ulang alik meledak ketika sedang berusaha melakukan pendaratan darurat. Kejadian ini mengguncang Amerika. Setelah diselidiki, ada sejenis spora yang menempel di pecahan-pecahan pesawat tersebut. Salah seorang penyelidik kejadian itu, Tucker Kauffman (Jeremy Northam) terluka ketika menyentuh salah satu pecahan. Ternyata, luka itu membawa sebuah virus yang menyerang ketika sedang tertidur. Perilaku Tucker berubah menjadi sangat aneh. Ekspresi wajahnya datar dan tidak ada emosi dalam perasaannya.
Sementara itu, seorang istri, Wendy Lenk (Veronica Carthwright) merasa aneh dengan perilaku suaminya yang tidak biasa. Ia berkonsultasi dengan Carol Bennell (Nicole Kidman), seorang psikolog yang mantan istri Tucker. Secara kebetulan, Carol juga merasa ada yang aneh dengan mantan suaminya ketika Tucker menelponnya. Ada suatu perasaan takut yang berlebihan ketika Tucker meminta Oliver (Jackson Bond), anak mereka, untuk tinggal bersamanya.
Carol melihat semakin banyak keanehan dengan orang-orang disekelilingnya. Ia melihat semua orang di jalan bagai robot. Ditambah lagi, ketika di malam Halloween, Oliver dan teman-temannya sedang ber-trick or treat, seorang anjing menyerang salah satu teman Oliver, teman Oliver itu tidak menunjukkan rasa sakit atau takut. Tiba-tiba saja, di tangan Oliver ada seperti karet plastic transparan, tapi ketika dilihat lebih lanjut ada sesuatu yang bergerak-gerak di plastic itu.
Carol membawanya ke Dr. Ben Driscoll (Daniel Craig), agar benda itu segera diselidiki. Sementara itu, Carol semakin tidak tenang karena Oliver sedang berada di rumah Tucker. Dari teman Ben, Dr. Galeano (Jeffry Wright) segera diketahui apa benda aneh itu.
Keanehan semakin meluas. Banyak orang-orang yang belum terjangkit virus itu ditangkap polisi. Carol ketakutan. Di sebuah kereta bawah tanah, Carol mendapat pelajaran, bahwa ia harus bersikap wajar, tanpa emosi, hingga polisi tidak bisa melacak siapa yang sudah tertular, siapa yang belum.
Carol pun bermaksud membawa pulang Oliver dari rumah Tucker. Tapi, ternyata Oliver sudah dipindahkan ke rumah ibu Tucker. Carol terjebak, dan Tucker ‘memuntahi’nya dengan virus itu, Carol pun tertular. Carol berusaha agar ia tetap terjaga agar virus itu tidak bisa menyerang tubuhnya.
Ketika akhirnya Carol berhasil menjemput Oliver, yang ternyata punya antibody, hingga ia kebal terhadap penyakit itu. Carol dan Oliver pun harus lari sana-sini agar mereka tidak tertangkap oleh Tucker dan anak buahnya.
Sementara di luar negeri, semua sibuk mencari penangkal virus itu, pemerintah Amerika seolah tutup mata dengan korban yang semakin banyak. Ada konspirasi dan intrik-intrik di balik sikap pemerintah Amerika itu.
Film ini sebenernya asyik, jenis science-fiction, tapi ketegangannya rada kurang. Kaya’nya jadi sibuk ngeliatin Nicole Kidman lari-larian. Ngeri banget ngeliat orang-orang yang udah kena penyakit itu, bener-bener bar-bar waktu ngeliat Carol sama Oliver melarikan diri. Bener-bener gak punya perasaan. Ada satu adegan yang ngilu banget, waktu ada anak dan bapak terjun dari gedung tinggi, tapi orang-orang yang ngeliat cuek aja, seperti ngeliat sesuatu hal yang biasa. Terus, aktingnya Daniel Craig si James Bond itu, juga biasa aja, datar. Tapi, cocok juga sih, jadinya bikin orang bingung, dia juga sakit atau gak sih?
Labels: science-fiction, The Invasion
Nun jauh di lubang di bawah kota Paris, hiduplah sekelompok tikus-tikus. Salah satu tikus itu bernama Remy (Patton Oswalt). Berbeda dengan tikus-tikus lain yang gak peduli makan apa aja, mau sampah.. mau makanan busuk… apa aja lah, Remy termasuk yang ‘pemilih’. Remy hanya mau makanan yang bersih. Ia bahkan diangkat jadi ‘pemeriksa kelayakan makanan’ karena penciumannya yang tajam. Layak atau gak itu artinya apakah makanan itu beracun atau tidak, bukan karena masalah bersihnya. Selain karena penciumannya yang tajam, indera perasa Remy juga sangat kuat. Ia bisa ‘meracik’ buah, daun-daun, keju menjadi suatu makanan yang lezat. Suatu keahlian yang sangat ‘tidak tikus’ menurut keluarganya. Remy gak mau kalo kuku-kuku kaki depannya kotor, karena itu ia selalu jalan dengan dua kaki belakangnya.
Gara-gara sibuk mencari kunyit untuk melezatkan makanannya dan terpana mendengar berita kematian Chef Gusteau, Remy dan seluruh koloninya hampir saja jadi korban semprotan racun tikus oleh seorang nenek yang rumahnya menjadi tempat tinggal para tikus itu. Tikus-tikus itu kabur tapi Remy terpisah gara-gara ia mengambil buku Chef Gusteau dulu.
Remy terdampar di sebuah lorong di bawah tanah. Tiba-tiba bayangan Chef Gusteau muncul dan memberi petunjuk apa yang harus dilakukan Remy. Ternyata, lorong bawah tanah itu terhubung langsung dengan restoran Chef Gusteau yang tetap sibuk sepeninggalan pemilik sebelumnya.
Ketika itu, restoran baru saja menerima tukang sampah baru bernama Linguini (Lou Romano). Chef Skinner (Ian Holm) dan yang lainnya tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Linguini selain ia adalah anak mantan pacar Chef Gusteau.
Dari jendela, Remy melihat Linguini yang secara tidak sengaja sedang ‘mengobrak-abrik’ sepanci sup. Padahal, Linguini sama sekali tidak punya keahlian memasak. Atas dorongan Chef Gusteau, Remy segera berlari ke dapur dan secara sembunyi-sembunyi ‘memperbaiki’ sup itu. Chef Skinner marah begitu melihat Linguini dengan sok tau mencoba memasak sup. Tapi, sudah tidak ada waktu untuk mengganti sup itu, karena tamu-tamu sudah tidak sabar menanti. Ternyata… para tamu puas dengan sup itu.
Chef Skinner tetap tidak terima dan menantang Linguini untuk memasak makanan yang lain. Linguini sendiri kebingungan, apalagi ketika tahu Remy-lah yang memasak. Untung Remy mau membantu Linguini. Dengan latihan, akhirnya, Remy bersembunyi di balik topi Linguini dan membantu setiap Linguini akan memasak.
Sementara itu, Chef Skinner dipusingkan dengan adanya surat wasiat Chef Gusteau. Karena, Chef Skinner begitu berambisi untuk menggantikan posisi Chef Gusteau. Karena jika sampai waktu yang ditetapkan si ahli waris tidak ditemukan, maka otomatis Chef Skinner yang akan jadi pemiliknya.
Suatu hari, datanglah Anton Ego yang sempat mengira kalau resto Chef Gusteau sudah tutup. Ia ingin menguji kehebatan Chef Linguini yang jadi ngetop mendadak itu. Posisi baru Linguini sempat membuat Colette (Janeane Garofalo), satu-satunya chef perempuan, cemburu.
Di hari yang ditentukan, justru Remy meninggalkan Linguini karena Linguini kecewa dengan sikap Remy. Tidak hanya itu, ‘pasukan’ dapur Linguini juga pergi begitu tahu ternyata selama ini seekor tikuslah yang memasak. Dan, Skinner, juga tidak tinggal diam untuk membongkar kebohongan Linguini. Bisa gak, ya, Linguini and the gank membuat menu yang ‘mempesona’ Anton Ego?
Endingnya… tentunya film-film Disney gak akan membiarkan penggemarnya bercucuran air mata karena sedih, dong…
Wuiiiihhh… gue suka banget film ini… lucu dan menghibur banget. Romantisme kota Paris ditambah lagi makanan yang meskipun dalam bentuk animasi tetap mengundang selera karena keliatan yummmyyyyy dan lezat banget.
Labels: Ratatouille; animation
Kelima personil Topeng memang memiliki masalah sendiri-sendiri yang sangat rumit. Canting, si vokalis, yang cantik tapi gayanya tomboy dan sering banget ngomong kasar *B…i* sama orang-orang kalo lagi bt. Dia selalu ragu-ragu sama pacarnya, Arman (Dimas Seto). Arman ini bekerja di sebuah LSM yang bergerak dalam pencarian anak hilang, yang ia kelola bersama mantan pacarnya, Julia (Davina). Tentu saja Canting sewot berat, karena setiap kali ia lagi bersama Arman dan Julia meneleponnya, pasti Arman akan segera pergi dan bergegas menemui Julia. Julia sendiri ternyata punya tujuan pribadi, menuntaskan urusan masa lalunya dengan Arman.
Lain lagi masalah Brazil. Ia pernah disakiti kekasihnya yang meninggalkan Brazil ketika hamil. Brazil berniat melakukan balas dendam pada 100 orang laki-laki, agar ia lega dan terbebas dari dendamnya. Satu lagi ‘keanehan’ Brazil, adalah ia mengkoleksi ‘test pack’ setiap ia habis berhubungan dengan para lelaki itu, untuk membuktikan kalau dia tidak hamil. Sampai satu saat, ia mengencani dua laki-laki kembar, Oya dan Oyi (Ramon Y. Tungka). Keduanya tidak tahu kalo mereka ‘digilir’ sama Brazil, kalau saja Oya tidak memergoki Oyi sedang menggambar wajah Brazil. Mereka berdua pun mengatur siasat untuk membalas perbuatan Brazil, tapi, tanpa disadari Oyi jatuh cinta beneran sama Brazil.
Sementara itu, Veruska, memang terlihat paling alim dan manis di antara Canting dan Brazil. Tapi, ternyata, Veruska hamil di luar nikah. Ia berniat meminta pertanggung jawaban pacarnya, Dodo (Uli Herdinansyah), dokter tapi sering pake obat-obatan karena tertekan. Buntutnya Dodo harus dibawa ke rumah sakit karena OD. Padahal Veruska belum sempat memberi tahu kalau ia hamil dan tertular virus HIV.
Lalu, Kuta, selain sebagai pemain drum di Topeng, ia juga berprofesi sebagai pembuat tattoo. Tapi, yang jadi masalah bukan itu. Kuta ternyata menjalin hubungan cinta dengan suami orang, yang istrinya sedang hamil tua. Kuta frustasi dan hampir bunuh diri karena ia tidak bisa dengan bebas bertemu dengan kekasihnya itu.
Yang terakhir, adalah Prana. Ia memiliki istri, Sandra (Indah Kalalo) yang bisa meramal melalui media kartu tarot atau ampas teh. Sandra tahu akan ada hal buruk yang menimpa suaminya, dan ia juga tahu, kalau Prana sedang menjalin hubungan dengan perempuan lain dan berniat menikahi perempuan itu. Prana berselingkuh karena ia sangat mendambakan hadirnya seorang anak, sementara Sandra tidak kunjung hamil.
Di suatu malam, ketika sedang menuju tempat konser, anggota Topeng berada dalam satu mobil (ni satu lagi kebiasaan mereka yang harus berangkat konser bersama-sama). Ketika itu hujan lebat. Sandra yang punya firasat buruk segera menelepon suaminya. Tapi, kecelakaan tidak dapat dihindari. Semua meninggal dunia, kecuali Canting.
Sebelum ‘pergi’, arwah teman-temannya menitipkan pesan-pesan kepada Canting, untuk diteruskan kepada orang-orang terdekat mereka, agar mereka bisa dengan tenang meninggalkan dunia ini.
Seperti film-film sebelumnya, sebut saja Belahan Jiwa, atau Piano Tak Berdawai, film-film hasil karya Sekar Ayu Asmara, selalu dipenuhi dengan nuansa mistis dan gelap. Setiap tokoh juga punya masalah rumit yang seolah berhubungan dengan ‘kejiwaan’. Lihat aja tokoh Brazil, meskipun gak ‘sakit jiwa’ tapi punya koleksi yang cukup aneh. Nuansa mistis tergambar setiap kali adegan mengambil tempat di rumah Prana, di mana Sandra bisa meilhat gunung berapi yang mengeluarkan asap tebal seolah siap meletus. Belum lagi, burung kakak tua bernama Kuncen yang matanya aja bikin serem. Tapi, agak cape’ juga dengan Canting yang sering banget memaki-maki orang dengan kata favoritnya itu. Yang gue suka sih, Lukman Sardi, yang peran-perannya di setiap film pasti beda-beda. Dan, kaya’nya Lukman Sardi emang lebih pantes jadi tokoh yang agak ‘nyeleneh’ disbanding tokoh Umar yang alim di Nagabonar (Jadi) 2.
Labels: Pesan dari Surga
Kakek Bo-eun yang sakit-sakitan dan merasa sudah sekarat, meminta Sang-min dan Bo-eun untuk melaksanakan janji itu, agar Kakek Bo-eun bisa dengan tenang bertemu dengan kakek Sang-min di surge nanti. Karuan saja Sang-min dan Bo-eun kaget dan segera menolak perjodohan itu. Kakek Bo-eun kecewa dan melakukan sebuah ‘konspirasi’ dengan para orang tua agar rencana itu segera terlaksana.
Suatu hari, Kakek Bo-eun masuk rumah sakit dan benar-benar terlihat seolah sedang sekarat. Bo-eun panik dan segera saja mengiyakan kalau ia mau menikah dengan Sang-min, yang penting kakeknya segera sembuh kembali.
Pernikahan pun segera dilangsungkan. Tapi, semua itu harus dirahasiakan jangan sampai teman-teman Bo-eun di sekolah tahu tentang pernikahan ini. Untung saja, kepala sekolah Bo-eun adalah anak buah kakek Bo-eun di kemiliteran dulu.
Seperti layaknya pengantin baru, mereka berdua pun berangkat untuk berbulan madu. Tapi, Bo-eun malah menghilang, padahal Sang-min sudah di pesawat. Jadilah Sang-min berjalan-jalan sendirian.
Sementara itu, Bo-eun malah tertarik dengan salah satu teman sekolahnya yang pemain softball, Jeong-woo (Park Jin-woo). Ternyata Jeong-woo juga tertarik dengan Bo-eun dan mengajaknya berkencan. Bo-eun pun berhubungan diam-diam dengan Jeong-woo. Seperti layaknya ABG yang sedang merasakan cinta monyet.
Suatu hari, Sang-min melihat Bo-eun yang sedang member semangat pada Jeong-woo dalam sebuah pertandingan softball yang disiarkan di televise. Diam-diam Sang-min cemburu. Kesempatan untuk mengawasi Bo-eun datang ketika Sang-min menjadi guru kesenian magang di sekolah Bo-eun. Kali ini gentian Bo-eun yang tanpa disadari cemburu, karena salah satu guru, Miss Kim (Ahn Sun-yeong) mendekati Sang-min dengan agresif.
Meskipun tinggal serumah, kedua pasangan ini tidak tidur dalam satu kamar. Bahkan masih tetap bertingkah seperti pasangan kakak-adik. Tapi, lama-lama sih, ada juga ‘percikan-percikan’ rasa suka dan sayang di antara mereka.
Fim ini pastinya mengingatkan kita sama sinetron Pengantin Remaja (kalo yang suka nonton sinetron), yang emang mirip (atau emang menjiplak) film My Little Bride ini. Lihat aja para tokohnya, Allysia Subandono yang jadi cewek anak sma, terus, Christian Sugiono jadi guru BP di sekolahnya Allysia, terus ada guru cewek yang konyol dan agresif yang suka sama si guru BP. Plus tingkah pasangan yang suka saling sebel dan gengsian.
Film My Little Bride lumayan asyik, secara keseluruhan cukup menghibur, tapi yang mengganggu adalah ketika rahasia Sang-min dan Bo-eun terbongkar. Duh, kenapa juga harus di depan umum, di depan satu sekolah, pas Sang-min sebagai guru magang pidato, trus, ada temen Bo-eun yang sirik ‘memaksa’ Sang-min untuk cerita tentang rahasianya. Gak ada yang lebih ‘basi’ lagi? Hehehe.. soalnya gue paling sebel liat film yang ending-nya ada pasangan yang ditepukin di depan umum. It should be private moment…
Labels: Korea, My Little Bride
Han-na sih gak masalah, yang penting ia bisa berdekatan dengan Sang-Jun. Iya, Han-na jatuh cinta sama Sang-Jun, apalagi kadang, Sang-Jun bersikap sangat memperhatikan Han-na dibanding Ammy. Tentu aja, Han-na gr banget.
Ketika Sang-Jun mengundangnya untuk datang ke pesta ulang tahunnya dan tiba-tiba memberi surprise hadiah baju baru, Han-na meskipun gak pd dengan kostum itu, tetap pergi. Tapi, ternyata, bukan Sang-Jun yang memberi baju itu, melainkan Ammy yang juga memakai baju yang sama dengan Han-na. Ternyata, Ammy cemburu karena Sang-Jun lebih memperhatikan Han-na dibanding dirinya. Lewat baju yang sama, Ammy ingin menunjukkan siapa sih sebenarnya yang lebih menarik.
Di pesta itu, secara tidak sengaja Han-na mendengar percakapan antara Sang-Jun dan Ammy. Sang-Jun bilang, ia tidak menyukai Han-na, ia hanya memperalat Han-na demi suaranya. Han-na kecewa berat. Dan memutuskan untuk ‘menghilang’. Bahkan di malam itu, Han-na sempat memutuskan untuk bunuh diri.
Sebuah telepon dari seorang dokter menyadarkan Han-na. Perlu diketahui, selain sebagai ‘penyanyi latar’, dengan suaranya, Han-na juga bekerja sebagai operator ‘sex-phone’. Akal Han-na langsung jalan. Ia mendatangi dokter tersebut dan membujuk untuk segera dilakukan operasi plastik. Kalau dokternya menolak, Han-na akan menyebarkan rekaman suara ketika si dokter menelpon Han-na.
Akhirnya, dokter itu mau melakukan operasi plastik… dan… berubahlah Han-na yang gemuk menjadi perempuan yang cantik dan langsing.
Han-na berniat untuk ‘balas dendam’. Ketika itu, Sang-Jun sedang mengadakan audisi untuk mencari penyanyi pengganti Han-na. Han-na datang ke studio itu sebagai Jenny, seorang gadis blasteran Korea-Amerika. Ternyata, tidak ada satu pun yang mengenal bahwa Jenny adalah Han-na.
Sang-Jun langsung tertarik dengan suara merdu Jenny dan langsung mempromosikan Jenny sebagai penyanyi solo terbaru. Karir Jenny pun melesat. Meksi terkadang Jenny masih malu untuk tampil di depan umum.
Sang-Jun juga tertarik tidak hanya pada suara Jenny, tapi ia pun jatuh cinta. Jenny a. ka. Han-na mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini. Tapi, sampai kapan ia harus bohong?
Sementara itu, Ammy mulai curiga siapa sebenarnya Jenny? Ditambah lagi, ia juga penasaran, ke mana perginya Han-na yang seolah hilang ditelan bumi. Ammy pun berkunjung ke rumah sakit tempat ayah Han-na dirawat, karena biasanya Han-na secara rutin mengunjungi ayahnya.
Filmnya lucu, menyegarkan, meskipun temanya sih, biasa aja. Tapi, gue lebih memilih ending-nya Han-na jadi kurus, dibanding tiba-tiba, Sang-Jun jatuh cinta sama Han-na yang masih gendut. Meksipun dua-duanya klise, tapi kaya’nya lebih masuk akal gak sih?
Labels: 200 Pounds Beauty, Korea
Mr. Brooks ternyata memiliki ‘teman imajinasi’, sosok bayangan bernama Marshall (William Hurt). Mr. Brooks mempunyai kecenderungan ‘ketagihan’ membunuh! Marshall inilah yang mendorongnya melakukan pembunuhan yang kemudian dikenal dengan ‘thumbprint killer’. Mr. Brooks menikmati ketegangan ketika melakukan ‘ritual’ pembunuhan.
Di malam setelah acara penganugerahan Man of the Year, Marshall kembali muncul dan membujuk Mr. Brooks untuk melakukan pembunuhan. Padahal, Mr. Brooks sudah berjanji untuk tidak membunuh lagi. Korban kali ini adalah seorang pasangan yang dilihat Marshall di sebuah studio tari. Namun, keinginan untuk merasakan ‘sensasi’ membunuh lebih kuat dari niatnya untuk berhenti.
Maka, malam itu, dengan persiapan yang detail, Mr. Brooks dan Marshall mendatangi rumah pasangan penari itu. Dan, dibunuhlah pasangan itu dengan darah dingin.
Polisi, yang dipimpin oleh Detectif Tracy Atwood (Demi Moore) berusaha memecahkan misteri pembunuhan itu. Sementara itu, Mr. Brooks merasa tidak tenang karena di malam itu ia melakukan kesalahan kecil tapi sangat fatal.
Benar aja, seorang pemuda bernama Smith (Dane Cook) datang ke kantornya dengan membawa foto-foto yang bisa jadi bukti kalau Mr. Brooks-lah pelaku pembunuhan itu. Tadinya, Mr. Brooks mengira Smith akan memerasnya dengan foto-foto itu, tapi ternyata, Smith malah minta diajak kalau Mr. Brooks melakukan aksinya lagi.
Atas saran dan petunjuk dari Marshall, Mr. Brooks bersedia mengajak Smith.
Masalah Mr. Brooks bukan hanya ‘bersembunyi’ dari polisi. Tapi juga, masalah anaknya, Jane (Danielle Panabaker), yang tiba-tiba saja pulang dan menyatakan keluar dari kuliah yang baru berjalan. Marshall bilang, ada yang disembunyikan Jane. Dan, kepulangan Jane bertepatan dengan kasus pembunuhan di kampus Jane, ditambah lagi, mobil Jane tiba-tiba saja hilang. Polisi datang ke rumah Mr. Brooks untuk menyelidiki kasus itu.
Tiba-tiba saja, Mr. Brooks diliputi ketakutan bahwa ‘penyakit’nya akan menurun ke putri semata wayangnya yang cantik itu. Naluri kebapakannya memaksa Mr. Brooks melakukan sesuatu untuk menyelamatkan anaknya.
Sementara itu, Detective Atwood sendiri punya masalah yang gak kalah ribet. Ia sedang dalam kasus perceraian dengan suaminya yang menuntut pembagian harta yang cukup besar. Padahal Jesse Vialo (Jason Lewis), suaminya itu, selama ini hidup dari harta Tracy. Ada alasan tersendiri kenapa Tracy mau jadi polisi, padahal ia terbilang cukup kaya raya.
Sampai akhir cerita, meskipun Tracy melakukan penyelidikan atas kasus pembunuhan yang dilakukan Mr. Brooks, Tracy dan Mr. Brooks tidak pernah bertemu secara langsung.
Udah lama gak liat acting Kevin Costner dan Demi Moore. Film ini di awal agak membosankan dan membuat gue bertanya-tanya, “mau ngapain sih ini film?”, tapi, lama-lama, begitu mulai banyak konflik, jadi seru juga… apalagi pas si Mr. Brooks takut dan khawatir sama anaknya. Film thriller, tapi ada unsur psikologinya.
Labels: Mr. Brooks